www.arcocrewek.com

Arcocrewek

Selasa, 24 Desember 2013

Sepenggal cerita wong Jowo Suriname jilid 3

Minggu, 17 September 2006 BINCANG BINCANG Paul Salam Somohardjo: Tidak Perlu Malu Menjadi Jawa SEJAK sepuluh tahun terakhir, posisi masyarakat keturunan Jawa di Suriname menguat secara politik. Hal itu terlihat dari adanya sejumlah menteri dari keturunan Jawa, hal yang dahulu barangkali tidak terbayang sama sekali. Begitu juga sejumlah anggota parlemen. Berbicara tentang itu, tak mungkin melepaskan kiprah Paul Salam Somohardjo, wong Jawa yang kini menjadi pangarsa De Nationale Assemblee (DNA) atau Parlemen Suriname. "Wong Jawa ning Suriname, saiki bisa diarani padha sejajar karo bangsa liya. Ora maneh luwih endhek," kata dia, dalam bahasa Jawa yang kental. Sekadar catatan, Paul dan juga warga keturunan Jawa di Suriname lain, umumnya tidak menguasai bahasa Indonesia. Mereka lebih menguasai bahasa Belanda, yang merupakan bahasa resmi, bahasa Jawa, dan sedikit bahasa Taki-taki (Sranang Tongo), bahasa keseharian warga Suriname. "Kula mboten nyinau bahasa Indonesia. Tur maneh wong Jawa ning Suriname ya mboten dunung. Bahasa mboten kangge," terangnya. Bagaimana kiprah warga keturunan Jawa di jagat perpolitikan Suriname? Bagaimana relasi mereka dengan warga keturunan lain, seperti Hindustan, Creole, atau Maroon yang memiliki jumlah lebih banyak? Bagaimana pula mereka mempertahankan dan mewariskan identitas, yakni bahasa dan budaya Jawa kepada generasi berikutnya? Berikut petikan perbincangan dengan politikus yang disebut-sebut sebagai kandidat presiden pertama dari keturunan Jawa itu, di sela-sela Kongres IV Bahasa Jawa, di Hotel Patra Semarang, beberapa waktu lalu. Proses wawancara berlangsung dalam bahasa Jawa, terutama ragam ngoko. Bagaimana kiprah warga keturunan Jawa di Suriname, terutama pada ranah politik? Kalau dihitung, wong Jawa ada sekitar 15 persen dari 490.000-an penduduk Suriname. Saat ini berada pada peringkat keempat, setelah Hindustan, Creole, Maroon atau wong alasan. Kendati dari sisi jumlah hanya nomor empat, awake dhewe (begitu dia menyebut orang Jawa di Suriname) sudah mulai diperhitungkan. Itu antara lain partai orang Jawa, yakni Pertjajah Luhur sekarang sudah dibuat partai nasional. Memang semula, bibit kawite hanya beranggotakan orang Jawa, sekarang ada juga Hindustan, China, Creole, dan lain-lain. Itu didasari pertimbangan, orang Jawa tidak mungkin menapak posisi yang diperhitungkan, jika berjalan sendiri. Karena itu, Pertjajah Luhur diperluas, tidak hanya menjadi partai orang Jawa, tapi juga suku bangsa lain yang ada di Suriname. Pada pemilu 2005 lalu, memperoleh 25 persen suara, lantas berkoalisi dengan partai lain sehingga menjadi mayoritas di parlemen. Sekarang awake dhewe punya tiga menteri di kabinet, yang dipimpin Presiden Runaldo Ronald Venetiaan. Mereka adalah Menteri Pendidikan Wolf Edwin, yang berayah ibu orang Jawa. Kemudian Menteri Kesosialan dan Perumahan Hendrik Setrowijoyo. Aku dhewe maune ya dadi menteri kesosialan lan perumahan. Satu lagi Menteri Pertanahan Yong Chin Fa, keturunan China tapi anggota Pertjajah Luhur. (Bincang-bincang terhenti sebentar karena ada Gusti Dipokusumo dari Kasunanan Surakarta menyambangi Paul. Beberapa saat mereka berdua terlibat pembicaraan.) Anda pernah mengatakan, suatu ketika harus ada orang Jawa yang jadi Presiden Suriname. Seberapa besar peluangnya? Ya, bisa dikatakan terbuka peluang untuk itu. Sebab, saat ini yang memegang kekuasaan sebenarnya, ya orang Jawa. Konstitusi Suriname berbeda dari Indonesia. Beda banget antarane kana karo kene. Di Suriname, yang mbiting (memilih) presiden adalah parlemen, bukan directly (pilihan langsung) oleh rakyat. Aku inter ngedhukne presiden, kana ora inter ngedhukne aku. Apa yang dijalankan presiden sekarang, saya melalui parlemen yang memerintahkannya. Kalau presiden keliru dalam melangkah, dalam menjalankan pemerintahan, parlemen bisa menjatuhkannya. Untuk bisa menguasai parlemen juga harus kuat. Karena itu, Petjajah Luhur yang lahir dari rahim masyarakat Jawa menggandeng partai lain. Tujuannya apa? Supaya ke depan bisa lebih rosa, lebih kuat. Dengan kondisi semacam itu, menurut saya, tidak tertutup kemungkinan mbesuk yen ana karep, akan ada presiden Jawa di Suriname. Itu mungkin saja dicapai pada bitingan tahun 2010 mendatang. Apalagi, kalau saya lihat, di ranah politik orang Jawa boleh dibilang sudah kumpul. Tidak tahu apakah itu bisa dipertahankan hingga 2010 nanti. Apa urgensi orang Jawa jadi Presiden Suriname? Adakah dampak signifikan pada perkembangan budaya Jawa? Sebetulnya, sekarang pun budaya Jawa di Suriname sudah mulai menapak maju. Paling tidak bisa bertahan selama 115 tahun lebih, sejak kedatangan orang Jawa pertama pada 1890. Untuk pengembangan itu, amat diperlukan bantuan dari Indonesia. Sekarang, awake dhewe mempunyai dua stasiun radio-televisi (RTV), yaitu RTV Garuda dan RTV Mustika. Lalu ada empat stasiun radio, yang memiliki program-program Jawa, yakni Garuda, Mustika, Bersama, dan Pertjajah. Lagu-lagu dan penyanyi dari Indonesia amat popular di Suriname, juga bisa disebut sebagai indikator hidupnya budaya Jawa. Misalnya, Didi Kempot, Mus Mulyadi, atau John Pasta. Masiya ora dunung basa Jawa, akeh wong Suriname sing seneng lagu Jawa. Kalau saya jadi presiden, umpamanya, ya pastilah akan mendatangkan para cerdik pandai dari Jawa, untuk memberikan pelajaran pada warga keturunan Jawa di Suriname. Suatu kali, misalnya, perlu juga didatangkan wayang orang ke Suriname. Sebab di tempat kami, wayang orang sudah punah, wis ora ana maneh. Yang masih ada, ya wayang kulit. Itu pun dalangnya tinggal beberapa orang, yang rata-rata sudah berusia lanjut. (Perlu diketahui, Suriname merupakan sebuah negara kecil, yang terletak di Amerika Selatan, di selatan Samudera Atlantik. Luasnya hanya 163.270 kilometer persegi. Coba bandingkan dengan Jateng yang luasnya 3,25 juta hektare. Bekas koloni Belanda itu merdeka pada 25 November 1975. Dari hasil sensus Algemeen Bureau voor de Statistiek (semacam Badan Pusat Statistik/BPS) 2003, saat ini, Suriname memiliki penduduk 492.829 jiwa. Keturunan India (Hindustan) paling dominan, disusul keturunan Afrika (Creole), wong alasan (Maroon), dan Jawa. Sisanya dengan jumlah yang tidak signifikan, China, Indian, dan Belanda. Orang Jawa di Suriname berjumlah sekitar 74.000 jiwa atau 15 persen dari jumlah penduduk Suriname. Mereka umumnya tinggal di perkampungan Jawa, seperti Distrik Paramaribo, Commewijne, Lelydorp, Nickerie, dan Wanica . Mereka memiliki bermacam-macam profesi, mulai karyawan, pedagang, guru, pengusaha, atau politikus seperti Paul Somohardjo. Paul dikenal sebagai politikus yang menjunjung tinggi budaya Jawa. Dalam kampanye atau pidatonya, suami Siti Aminah Pardi-duta besar Suriname untuk Kerajaan Belanda-itu selalu berbahasa Jawa, sebagai pencampur bahasa Belanda dan Sranan Tongo atau Taki-taki. Sedemikian fanatiknya, dia masih sering mengatakan, "Kita dados bangsa Djawa, kedah teras nguri-nguri budaja Djawi.") Bagaimana kebijakan dan perhatian pemerintah Suriname untuk budaya Jawa? Kalau soal itu, sebetulnya terserah atau bergantung karo awake dhewe. Hanya saja, saya kira perlu kebijaksanaan, dengan mengupayakannya secara bertahap. Perlu disadari, wong Jawa di Suriname hidup bersama bangsa lain. Jangan sampai nyolok mata banget, perlu alon-alon lan prayitna. Seperti yang saya katakan tadi, bisa lewat televisi atau radio. Jadi yang menghidupkan budaya Jawa di Suriname, rakyatnya bukan pemerintah? Pemerintah yang sekarang, dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kecekel ning awake dhewe, tentu memiliki perhatian yang memadai. Bagaimana pun, partaiku partainya orang Jawa, menterinya juga orang Jawa. Lantas bagaimana menghidup-hidupkan kebudayaan Jawa di sana? Seperti saya katakan, bantuan dari Indonesia amat berarti. Oleh karena itu, kedatangan saya dan teman-teman ke Kongres IV Bahasa Jawa, pada saat yang sama juga mengupayakan adanya bantuan semacam itu. Tidak saja berupa guru-guru, seperti yang pernah kami dapatkan dulu, namun juga buku-buku untuk pembelajaran dan pewarisan bahasa dan budaya Jawa. Tapi, saya sendiri ya merasa sayang, melihat di sini basane nganggo Indonesia, maca koran ya basa Indonesia, ndeleng televisi ya basa Indonesia. Jadi, berada di Jawa selama beberapa hari ini, saya merasa sayang sekaligus juga senang. Senang, karena di sini, anak-anak mudanya masih mau berbahasa Jawa. Beberapa karyawan hotel yang bertemu saya, juga bisa dan mau berbincang dengan bahasa Jawa. Di mal atau supermarket juga ngomong Jawa. Nek aku njaluke, ora prelu isin dadi Jawa Tidak perlu malu menjadi Jawa. Sewalike, dadi Jawa kudu bingah lan gembira. Saya orang Suriname, keturunan dari Jawa, sama sekali tidak malu. Saya mengajarkan kepada anak-anak saya, dan juga anak-anak muda Suriname keturunan Jawa, tidak perlu malu terlahir sebagai orang Jawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar