www.arcocrewek.com

Arcocrewek

Selasa, 24 Desember 2013

Sepenggal cerita wong Jowo Suriname jilid 3

Minggu, 17 September 2006 BINCANG BINCANG Paul Salam Somohardjo: Tidak Perlu Malu Menjadi Jawa SEJAK sepuluh tahun terakhir, posisi masyarakat keturunan Jawa di Suriname menguat secara politik. Hal itu terlihat dari adanya sejumlah menteri dari keturunan Jawa, hal yang dahulu barangkali tidak terbayang sama sekali. Begitu juga sejumlah anggota parlemen. Berbicara tentang itu, tak mungkin melepaskan kiprah Paul Salam Somohardjo, wong Jawa yang kini menjadi pangarsa De Nationale Assemblee (DNA) atau Parlemen Suriname. "Wong Jawa ning Suriname, saiki bisa diarani padha sejajar karo bangsa liya. Ora maneh luwih endhek," kata dia, dalam bahasa Jawa yang kental. Sekadar catatan, Paul dan juga warga keturunan Jawa di Suriname lain, umumnya tidak menguasai bahasa Indonesia. Mereka lebih menguasai bahasa Belanda, yang merupakan bahasa resmi, bahasa Jawa, dan sedikit bahasa Taki-taki (Sranang Tongo), bahasa keseharian warga Suriname. "Kula mboten nyinau bahasa Indonesia. Tur maneh wong Jawa ning Suriname ya mboten dunung. Bahasa mboten kangge," terangnya. Bagaimana kiprah warga keturunan Jawa di jagat perpolitikan Suriname? Bagaimana relasi mereka dengan warga keturunan lain, seperti Hindustan, Creole, atau Maroon yang memiliki jumlah lebih banyak? Bagaimana pula mereka mempertahankan dan mewariskan identitas, yakni bahasa dan budaya Jawa kepada generasi berikutnya? Berikut petikan perbincangan dengan politikus yang disebut-sebut sebagai kandidat presiden pertama dari keturunan Jawa itu, di sela-sela Kongres IV Bahasa Jawa, di Hotel Patra Semarang, beberapa waktu lalu. Proses wawancara berlangsung dalam bahasa Jawa, terutama ragam ngoko. Bagaimana kiprah warga keturunan Jawa di Suriname, terutama pada ranah politik? Kalau dihitung, wong Jawa ada sekitar 15 persen dari 490.000-an penduduk Suriname. Saat ini berada pada peringkat keempat, setelah Hindustan, Creole, Maroon atau wong alasan. Kendati dari sisi jumlah hanya nomor empat, awake dhewe (begitu dia menyebut orang Jawa di Suriname) sudah mulai diperhitungkan. Itu antara lain partai orang Jawa, yakni Pertjajah Luhur sekarang sudah dibuat partai nasional. Memang semula, bibit kawite hanya beranggotakan orang Jawa, sekarang ada juga Hindustan, China, Creole, dan lain-lain. Itu didasari pertimbangan, orang Jawa tidak mungkin menapak posisi yang diperhitungkan, jika berjalan sendiri. Karena itu, Pertjajah Luhur diperluas, tidak hanya menjadi partai orang Jawa, tapi juga suku bangsa lain yang ada di Suriname. Pada pemilu 2005 lalu, memperoleh 25 persen suara, lantas berkoalisi dengan partai lain sehingga menjadi mayoritas di parlemen. Sekarang awake dhewe punya tiga menteri di kabinet, yang dipimpin Presiden Runaldo Ronald Venetiaan. Mereka adalah Menteri Pendidikan Wolf Edwin, yang berayah ibu orang Jawa. Kemudian Menteri Kesosialan dan Perumahan Hendrik Setrowijoyo. Aku dhewe maune ya dadi menteri kesosialan lan perumahan. Satu lagi Menteri Pertanahan Yong Chin Fa, keturunan China tapi anggota Pertjajah Luhur. (Bincang-bincang terhenti sebentar karena ada Gusti Dipokusumo dari Kasunanan Surakarta menyambangi Paul. Beberapa saat mereka berdua terlibat pembicaraan.) Anda pernah mengatakan, suatu ketika harus ada orang Jawa yang jadi Presiden Suriname. Seberapa besar peluangnya? Ya, bisa dikatakan terbuka peluang untuk itu. Sebab, saat ini yang memegang kekuasaan sebenarnya, ya orang Jawa. Konstitusi Suriname berbeda dari Indonesia. Beda banget antarane kana karo kene. Di Suriname, yang mbiting (memilih) presiden adalah parlemen, bukan directly (pilihan langsung) oleh rakyat. Aku inter ngedhukne presiden, kana ora inter ngedhukne aku. Apa yang dijalankan presiden sekarang, saya melalui parlemen yang memerintahkannya. Kalau presiden keliru dalam melangkah, dalam menjalankan pemerintahan, parlemen bisa menjatuhkannya. Untuk bisa menguasai parlemen juga harus kuat. Karena itu, Petjajah Luhur yang lahir dari rahim masyarakat Jawa menggandeng partai lain. Tujuannya apa? Supaya ke depan bisa lebih rosa, lebih kuat. Dengan kondisi semacam itu, menurut saya, tidak tertutup kemungkinan mbesuk yen ana karep, akan ada presiden Jawa di Suriname. Itu mungkin saja dicapai pada bitingan tahun 2010 mendatang. Apalagi, kalau saya lihat, di ranah politik orang Jawa boleh dibilang sudah kumpul. Tidak tahu apakah itu bisa dipertahankan hingga 2010 nanti. Apa urgensi orang Jawa jadi Presiden Suriname? Adakah dampak signifikan pada perkembangan budaya Jawa? Sebetulnya, sekarang pun budaya Jawa di Suriname sudah mulai menapak maju. Paling tidak bisa bertahan selama 115 tahun lebih, sejak kedatangan orang Jawa pertama pada 1890. Untuk pengembangan itu, amat diperlukan bantuan dari Indonesia. Sekarang, awake dhewe mempunyai dua stasiun radio-televisi (RTV), yaitu RTV Garuda dan RTV Mustika. Lalu ada empat stasiun radio, yang memiliki program-program Jawa, yakni Garuda, Mustika, Bersama, dan Pertjajah. Lagu-lagu dan penyanyi dari Indonesia amat popular di Suriname, juga bisa disebut sebagai indikator hidupnya budaya Jawa. Misalnya, Didi Kempot, Mus Mulyadi, atau John Pasta. Masiya ora dunung basa Jawa, akeh wong Suriname sing seneng lagu Jawa. Kalau saya jadi presiden, umpamanya, ya pastilah akan mendatangkan para cerdik pandai dari Jawa, untuk memberikan pelajaran pada warga keturunan Jawa di Suriname. Suatu kali, misalnya, perlu juga didatangkan wayang orang ke Suriname. Sebab di tempat kami, wayang orang sudah punah, wis ora ana maneh. Yang masih ada, ya wayang kulit. Itu pun dalangnya tinggal beberapa orang, yang rata-rata sudah berusia lanjut. (Perlu diketahui, Suriname merupakan sebuah negara kecil, yang terletak di Amerika Selatan, di selatan Samudera Atlantik. Luasnya hanya 163.270 kilometer persegi. Coba bandingkan dengan Jateng yang luasnya 3,25 juta hektare. Bekas koloni Belanda itu merdeka pada 25 November 1975. Dari hasil sensus Algemeen Bureau voor de Statistiek (semacam Badan Pusat Statistik/BPS) 2003, saat ini, Suriname memiliki penduduk 492.829 jiwa. Keturunan India (Hindustan) paling dominan, disusul keturunan Afrika (Creole), wong alasan (Maroon), dan Jawa. Sisanya dengan jumlah yang tidak signifikan, China, Indian, dan Belanda. Orang Jawa di Suriname berjumlah sekitar 74.000 jiwa atau 15 persen dari jumlah penduduk Suriname. Mereka umumnya tinggal di perkampungan Jawa, seperti Distrik Paramaribo, Commewijne, Lelydorp, Nickerie, dan Wanica . Mereka memiliki bermacam-macam profesi, mulai karyawan, pedagang, guru, pengusaha, atau politikus seperti Paul Somohardjo. Paul dikenal sebagai politikus yang menjunjung tinggi budaya Jawa. Dalam kampanye atau pidatonya, suami Siti Aminah Pardi-duta besar Suriname untuk Kerajaan Belanda-itu selalu berbahasa Jawa, sebagai pencampur bahasa Belanda dan Sranan Tongo atau Taki-taki. Sedemikian fanatiknya, dia masih sering mengatakan, "Kita dados bangsa Djawa, kedah teras nguri-nguri budaja Djawi.") Bagaimana kebijakan dan perhatian pemerintah Suriname untuk budaya Jawa? Kalau soal itu, sebetulnya terserah atau bergantung karo awake dhewe. Hanya saja, saya kira perlu kebijaksanaan, dengan mengupayakannya secara bertahap. Perlu disadari, wong Jawa di Suriname hidup bersama bangsa lain. Jangan sampai nyolok mata banget, perlu alon-alon lan prayitna. Seperti yang saya katakan tadi, bisa lewat televisi atau radio. Jadi yang menghidupkan budaya Jawa di Suriname, rakyatnya bukan pemerintah? Pemerintah yang sekarang, dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kecekel ning awake dhewe, tentu memiliki perhatian yang memadai. Bagaimana pun, partaiku partainya orang Jawa, menterinya juga orang Jawa. Lantas bagaimana menghidup-hidupkan kebudayaan Jawa di sana? Seperti saya katakan, bantuan dari Indonesia amat berarti. Oleh karena itu, kedatangan saya dan teman-teman ke Kongres IV Bahasa Jawa, pada saat yang sama juga mengupayakan adanya bantuan semacam itu. Tidak saja berupa guru-guru, seperti yang pernah kami dapatkan dulu, namun juga buku-buku untuk pembelajaran dan pewarisan bahasa dan budaya Jawa. Tapi, saya sendiri ya merasa sayang, melihat di sini basane nganggo Indonesia, maca koran ya basa Indonesia, ndeleng televisi ya basa Indonesia. Jadi, berada di Jawa selama beberapa hari ini, saya merasa sayang sekaligus juga senang. Senang, karena di sini, anak-anak mudanya masih mau berbahasa Jawa. Beberapa karyawan hotel yang bertemu saya, juga bisa dan mau berbincang dengan bahasa Jawa. Di mal atau supermarket juga ngomong Jawa. Nek aku njaluke, ora prelu isin dadi Jawa Tidak perlu malu menjadi Jawa. Sewalike, dadi Jawa kudu bingah lan gembira. Saya orang Suriname, keturunan dari Jawa, sama sekali tidak malu. Saya mengajarkan kepada anak-anak saya, dan juga anak-anak muda Suriname keturunan Jawa, tidak perlu malu terlahir sebagai orang Jawa

Senin, 23 Desember 2013

Sejarah Maja Pahit

Kerajaan Majapahit Didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana yang merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari. Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit: 1. Raden Wijaya 1273 – 1309 2. Jayanegara 1309-1328 3. Tribhuwanatunggaldewi 1328-1350 4. Hayam Wuruk 1350-1389 5. Wikramawardana 1389-1429 6. Kertabhumi 1429-1478 Kerajaan Majapahit ini mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Kebesaran kerajaan ditunjang oleh pertanian sudah teratur, perdagangan lancar dan maju, memiliki armada angkutan laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Di bawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Ia tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”. Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Penyebab kemunduran: Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri. Peninggalan kerajaan Majapahit: Bangunan: Candi Panataran, Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika. Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit. Dua pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur Moehammad Noer. Di belakang bangunan Pendopo Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. Begitu memasuki bangunan Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan ” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat itu. Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya. Pada waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ” kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-temurun sejak leluhurnya.  Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985 juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya. Kemudian pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo. Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga. Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya ” Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995. Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk. MASA KEJAYAAN MAJAPAHIT Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula. Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung tersebut adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad. Keruntuhan Majapahit Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Tersebutlah kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih “kapernah” kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit yang kafir itu. Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia. Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak. Cerita ini masih dibumbui lagi, yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama”. Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga terdapat dalam “Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging) membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya. Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam. Karena terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau Bali. Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak begitu. Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat. “Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling. Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit. Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu. Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana. Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah. Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka. Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa. Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru. Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi). Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27. P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873. L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu. Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa. Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban. Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan. Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan. Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya. Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan. Namun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada –yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Sejarah Maja Pahit

Kerajaan Majapahit Didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana yang merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari. Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit: 1. Raden Wijaya 1273 – 1309 2. Jayanegara 1309-1328 3. Tribhuwanatunggaldewi 1328-1350 4. Hayam Wuruk 1350-1389 5. Wikramawardana 1389-1429 6. Kertabhumi 1429-1478 Kerajaan Majapahit ini mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Kebesaran kerajaan ditunjang oleh pertanian sudah teratur, perdagangan lancar dan maju, memiliki armada angkutan laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Di bawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Ia tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”. Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Penyebab kemunduran: Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri. Peninggalan kerajaan Majapahit: Bangunan: Candi Panataran, Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika. Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit. Dua pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur Moehammad Noer. Di belakang bangunan Pendopo Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. Begitu memasuki bangunan Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan ” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat itu. Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya. Pada waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ” kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-temurun sejak leluhurnya.  Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985 juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya. Kemudian pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo. Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga. Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya ” Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995. Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk. MASA KEJAYAAN MAJAPAHIT Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula. Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung tersebut adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad. Keruntuhan Majapahit Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Tersebutlah kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih “kapernah” kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit yang kafir itu. Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia. Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak. Cerita ini masih dibumbui lagi, yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama”. Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga terdapat dalam “Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging) membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya. Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam. Karena terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau Bali. Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak begitu. Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat. “Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling. Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit. Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu. Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana. Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah. Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka. Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa. Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru. Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi). Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27. P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873. L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu. Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa. Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban. Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan. Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan. Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya. Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan. Namun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada –yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri. Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Minggu, 22 Desember 2013

SEJARAH BUNG KARNO

Sejarah Hidup Presiden Soekarno (Bung Karno) Sejarah Hidup Presiden Soekarno (Bung Karno)- Ir Soekarno dikenal sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan juga sebagai Pahlawan Proklamasi, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Jakarta. Saat ia lahir dinamakan Koesno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika. Sejarah Hidup Presiden Soekarno (Bung Karno) Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT. Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926. Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda  memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.  Saat dipenjara, Soekarno mengandalkan hidupnya dari sang istri. Seluruh kebutuhan hidup dipasok oleh Inggit yang dibantu oleh kakak kandung Soekarno, Sukarmini atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Wardoyo. Saat dipindahkan ke penjara Sukamiskin, pengawasan terhadap Soekarno semakin keras dan ketat. Dia dikategorikan sebagai tahanan yang berbahaya. Bahkan untuk mengisolasi Soekarno agar tidak mendapat informasi dari luar, dia digabungkan dengan para tahanan 'elite'. Kelompok tahanan ini sebagian besar terdiri dari orang Belanda yang terlibat korupsi, penyelewengan, atau penggelapan. Tentu saja, obrolan dengan mereka tidak nyambung dengan Bung Karno muda yang sedang bersemangat membahas perjuangan kemerdekaan. Paling banter yang dibicarakan adalah soal makanan, cuaca, dan hal-hal yang tidak penting. Beberapa bulan pertama menjadi tahanan di Sukamiskin, komunikasi Bung Karno dengan rekan-rekan seperjuangannya nyaris putus sama sekali. Tapi sebenarnya, ada berbagai cara dan akal yang dilakukan Soekarno untuk tetap mendapat informasi dari luar. Hal itu terjadi saat pihak penjara membolehkan Soekarno menerima kiriman makanan dan telur dari luar. Telur yang merupakan barang dagangan Inggit itu selalu diperiksa ketat oleh sipir sebelum diterima Bung Karno. Seperti yang dituturkan Ibu Wardoyo yang dikutip dalam buku 'Bung Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Antarkota tahun 1978, telur menjadi alat komunikasi untuk mengabarkan keadaan di luar penjara. Caranya, bila Inggit mengirim telur asin, artinya di luar ada kabar buruk yang menimpa rekan-rekan Bung Karno. Namun dia hanya bisa menduga-duga saja kabar buruk tersebut, karena Inggit tidak bisa menjelaskan secara detail. Seiring berjalannya waktu, Soekarno dan Inggit kemudian menemukan cara yang lebih canggih untuk mengelabui Belanda. Medianya masih sama, telur. Namun, telur tersebut telah ditusuk-tusuk dengan jarum halus dan pesan lebih detail mengenai kabar buruk itu dapat dipahami Bung Karno. Satu tusukan di telur berarti semua kabar baik, dua tusukan artinya seorang teman ditangkap, dan tiga tusukan berarti ada penyergapan besar-besaran terhadap para aktivis pergerakan kemerdekaan. Selama menjalani masa hukuman dari Desember 1929 hingga dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno tidak pernah dijenguk oleh kedua orangtuanya yang berada Blitar. Menurut Ibu Wardoyo, orang tua mereka Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tidak sanggup melihat anak yang mereka banggakan itu berada di tempat hina yakni penjara dan dalam posisi yang tidak berdaya. Apalagi, saat di Sukamiskin, menurut Ibu Wardoyo, kondisi Soekarno demikian kurus dan hitam. Namun Bung Karno beralasan, dia sengaja membuat kulitnya menjadi hitam dengan bekerja dan bergerak di bawah terik matahari untuk memanaskan tulang-tulangnya. Sebab di dalam sel tidak ada sinar matahari, lembab, gelap, dan dingin. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok. Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”. Presiden Soekarno dan Ibu fatmawati Presiden Soekarno semasa hidupnya dikenal memiliki pesona, sehingga dengan mudah menaklukkan wanita-wanita cantik yang diinginkannya. Sejarah mencatat Bung Karno sembilan kali menikah. Namun banyak yang tidak tahu wanita seperti apa yang dicintai Sang Putra Fajar itu. Untuk urusan kriteria ternyata Bung Karno bukanlah sosok pria neko-neko. Perhatian Bung Karno akan mudah tersedot jika melihat wanita sederhana yang berpakaian sopan. Lalu, bagaimana Bung Karno memandang wanita berpenampilan seksi? Pernah di satu kesempatan ketika sedang jalan berdua dengan Fatmawati, Bung Karno bercerita mengenai penilaiannya terhadap wanita. Kala itu Bung Karno benar-benar sedang jatuh hati pada Fatmawati. "Pada suatu sore ketika kami sedang berjalan-jalan berdua, Fatmawati bertanya padaku tentang jenis perempuan yang kusukai," ujar Soekaro dalam buku 'Bung Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Antar Kota. Sesaat Bung Karno memandang sosok Fatmawati yang saat itu berpakaian sederhana dan sopan. Perasaan Bung Karno benar-benar bergejolak, dia sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. "Aku memandang kepada gadis desa ini yang berpakaian baju kurung merah dan berkerudung kuning diselubungkan dengan sopan. Kukatakan padanya, aku menyukai perempuan dengan keasliannya, bukan wanita modern yang pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan," kata Soekarno. "Saya lebih menyukai wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senatiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya dengar menyuruh suaminya mencuci piring," tambahnya. Mungkin saat itu Fatmawati begitu terpesona mendengar jawaban Soekarno yang lugas. Sampai pada akhirnya jodoh mempertemukan keduanya. Soekarno menikah dengan Fatmawati pada tahun 1943, dan dikarunia 5 anak yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. "Saya menyukai perempuan yang merasa bahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anak-anak," katanya. Menurut pengakuan Ibu Fatmawati, dia dan Bung Karno tidak pernah merayakan ulang tahun perkawinan, Jangankan kawin perak atau kawin emas, ulang tahun pernikahan ke-1, ke-2 atau ke-3 saja tidak pernah. Sebabnya tak lain karena keduanya tidak pernah ingat kapan menikah. Ini bisa dimaklumi karena saat berlangsungnya pernikahan, zaman sedang dibalut perang. Saat itu Perang Dunia II sedang berkecamuk dan Jepang baru datang untuk menjajah Indonesia. "Kami tidak pernah merayakan kawin perak atau kawin emas. Sebab kami anggap itu soal remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan besar yang hebat dan dahsyat," begitu cerita Ibu Fatmawati di buku Bung Karno Masa Muda, terbitan Pustaka Antar Kota, 1978. Kehidupan pernikahan Bung Karno dan Fatmawati memang penuh dengan gejolak perjuangan. Dua tahun setelah keduanya menikah, Indonesia mencapai kemerdekaan. Tetapi ini belum selesai, justru saat itu perjuangan fisik mencapai puncaknya. Bung Karno pastinya terlibat dalam setiap momen-momen penting perjuangan bangsa. Pasangan ini melahirkan putra pertamanya yaitu Guntur Soekarnoputra. Guntur lahir pada saat Bung Karno sudah berusia 42 tahun. Berikutnya lahir Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Putra-putri Bung Karno dikenal memiliki bakat kesenian tinggi. Hal itu tak aneh mengingat Bung Karno adalah sosok pengagum karya seni, sementara Ibu Fatmawati sangat pandai menari. Sejak kecil, Soekarno sangat menyukai cerita wayang. Dia hapal banyak cerita wayang sejak kecil. Saat masih bersekolah di Surabaya, Soekarno rela begadang jika ada pertunjukan wayang semalam suntuk. Dia pun senang menggambar wayang di batu tulisnya. Saat ditahan dalam penjara Banceuy pun kisah-kisah wayanglah yang memberi kekuatan pada Soekarno. Terinspirasi dari Gatot Kaca, Soekarno yakin kebenaran akan menang, walau harus kalah dulu berkali-kali. Dia yakin suatu saat penjajah Belanda akan kalah oleh perjuangan rakyat Indonesia. "Pertunjukan wayang di dalam sel itu tidak hanya menyenangkan dan menghiburku. Dia juga menenangkan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bayangan-bayangan hitam di kepalaku menguap bagai kabut dan aku bisa tidur nyenyak dengan penegasan atas keyakinanku. Bahwa yang baik akan menang atas yang jahat," ujar Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007. Soekarno tidak hanya mencintai budaya Jawa. Dia juga mengagumi tari-tarian dari seantero negeri. Soekarno juga begitu takjub akan tarian selamat datang yang dilakukan oleh penduduk Papua. Karena kecintaan Soekarno pada seni dan budaya, Istana Negara penuh dengan aneka lukisan, patung dan benda-benda seni lainnya. Setiap pergi ke daerah, Soekarno selalu mencari sesuatu yang unik dari daerah tersebut. Dia menghargai setiap seniman, budayawan hingga penabuh gamelan. Soekarno akan meluangkan waktunya untuk berbincang-bincang soal seni dan budaya setiap pagi, di samping bicara politik. Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Saat-saat diasingkan di Istana Bogor selepas G-30S/PKI, Soekarno membunuh waktunya dengan mengiventarisir musik-musik keroncong yang dulu populer tahun 1930an dan kemudian menghilang. Atas kerja kerasnya dan beberapa seniman keroncong, Soekarno berhasil menyelamatkan beberapa karya keroncong. Setlah itu Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi". Detik Detik Kematian Sang Presiden Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.   Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.   Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.   Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.   Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu   Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.   “Pak, Pak, ini Ega…”   Senyap.   Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.   Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.   Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.   Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.   Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.   “Hatta.., kau di sini..?”   Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.   “Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”   Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.   Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?   Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.   Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.   Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.   “No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.   Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.   Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.   Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.   Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.   Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.   Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya. Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.  Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.  Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal. Isu di bunuh secara perlahan Banyak Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya. Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya. Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita. Kata Kata Bijak Soekarno Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak. [Pidato HUT Proklamasi, 1963] Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961) Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang. Pemerintah menganugerahkan Bung Karno sebagai Pahlawan Proklamasi. Soekarno (Bung Karno) memang Pahlawan Indonesia yang gagah berani “Jasa dan tentang mu tak akan terlupakan hingga hancur Bumi”. Adakah Soekarno (Bung Karno) lainnya di ERA sekarang ini ?

Sabtu, 21 Desember 2013

Sejarah'e Tanah Jowo

Ini adalah nama pulau Jawa dizaman dulu kala, merupakan satu dari gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara yang disebut Nusantara, pada dulu kala dinamakan Sweta Dwipa. Seluruh gugusan kepulauan di Asia Selatan dan Tenggara dinamakan anak benua atau gugusan pulau-pulau Jawata. Dahulu ,anak benua di India disebut Jambu Dwipa, sedangkan seluruh kepulauan Nusantara disebut Sweta Dwipa. Karena Jambu Dwipa dan Sweta Dwipa berasal dari daerah yang sama, maka tidak heran kalau budayanya banyak yang menyerupai atau dalam perkembangan saling mempengaruhi. Dari perkembangan geografis, pada 20 hingga 36 juta tahun lalu, di Asia bagian selatan terjadi proses bergeraknya anak benua India ke utara, mengakibatkan tabrakan dengan lempengan yang diutara, akibatnya ada tanah yang mencuat keatas , yang kini dikenal sebagai gunung Himalaya.Pada saat itu dataran Cina masih terendam lautan.Anak benua yang diselatan dan tenggara ,yaitu Jawata, termasuk Sweta Dwipa dan Jawa Dwipa muncul sebagai pulau-pulau mata rantai gunung berapi. Keturunan dewa Dalam cerita kuno dikatakan bahwa orang Jawa itu anak keturunan atau berasal dari dewa. Dalam bahasa Jawa orang Jawa disebut Wong Jawa, dalam bahasa ngoko-sehari-hari, artinya : wong itu dari kata wahong Jawa, artinya orang Jawa itu adalah anak keturunannya dewa. Begitu pula Tiyang Jawa itu dari Ti Hyang Jawa artinya juga sama, yaitu anak keturunan dewa ,dalam bahasa krama inggil—halus. Jawata artinya adalah dewa, gurunya orang Jawa. Menurut pedalangan wayang kulit, keindahan pulau Jawa dikala itu telah menarik perhatian dewa dewi dari kahyangan, sehingga mereka turun ke marcapada, tanah Jawa dan membangun kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Dwipa.Raja Kediri, Jayabaya adalah Dewa Wisnu yang turun dari kahyangannya.Jayabaya amat populer di Jawa dan Indonesia karena ramalannya yang akurat mengenai sejarah perjalanan negeri ini dan berisi nasihat-nasihat bijak bagi mereka yang memegang tampuk pimpinan negara, para priyayi/pejabat negara, tetapi juga untuk kawula biasa. Ajarannya mengenai perilaku yang baik benar sebenarnya juga mempunyai kebenaran universal. Kerajaan Pertama Jawa Dwipa, menurut salah satu sumber adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa , letaknya di gunung Gede, Merak, dengan rajanya Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo. Ini melambangkan dewa kahyangan, permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, nama dari Dewi Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan Lembu Suro yang tinggi elmunya/pengetahuan spiritualnya ,. yang mampu hidup di tujuh dimensi alam (Garbo Pitu), tinggal di Dieng (letak geografis di Jawa Tengah). Dieng dari Adhi Hyang artinya suksma yang sempurna. Permenikahan Wisnudewo dengan Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa sukma untuk menetap dibumi. Keberadaannya di bumi aman dan bisa berkembang karena didukung oleh daya kekuatan bumi yang digambarkan sebagai Begawan Lembu Suro. Betara Guru Kecantikan Pulau Jawa bahkan menarik hati Rajanya para dewa yaitu Betara Guru untuk mendirikan kerajaan dibumi. Turunlah dia dari domainnya di Swargaloka dan memilih tempat tinggal di gunung Mahendra. ( Kini disebut Gunung Lawu terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur antara Surakarta dan Madiun). Betara Guru punya nama lain Sang Hyang Jagat Nata , ratunya Jagat Raya – The king of the Universe dan Sang Hyang Girinata, ratunya gunung-gunung,—the King of Mountains. Di kerajaan Mahendra, Sorga yang agung — The great Heaven , Betara Guru memakai nama Ratu Mahadewa. Karaton kerajaan Mahendra dibangun mirip seperti karatonnya yang di Kahyangan. Piranti-piranti sorga juga dibuat, antara lain: Gamelan, seperangkat alat musik untuk hiburan para dewa dengan menikmati alunan suaranya yang merdu dan saat sedang menari/olah beksa. Menari/olah beksa itu bukanlah sekedar mengayunkan raga mengikuti ritme musik tetapi merupakan latihan untuk konsentrasi dan selanjutnya kontemplasi untuk mengenal jati diri dan menemui Sang Pencipta (seperti Yoga dalam arti yang sebenarnya) . Nama gamelan itu adalah Lokananta. Patung-patung penjaga istana yaitu Cingkarabala dan Balaupata , yang diletakkan dikanan-kiri pintu gerbang istana. Artinya istana dijaga kuat sehingga aman. Pusaka berupa keris , cakra, tombak, panah, dll dibuat oleh empu terkenal yaitu Empu Ramadhi . Raja Dewa yang lain Setelah para dewa bisa tenang tinggal dibumi Jawa , menikah dengan putri pribumi dan punya anak keturunan, Betara Guru kembali ke Kahyangan. Beberapa putranya ditunjuk untuk meneruskan memimpin kerajaan-kerajaan selain di Jawa juga di Sumatra dan Bali. Di Sumatra Sang Hyang Sambo bergelar Sri Maharaja Maldewa, di kerajaan Medang Prawa, di gunung Rajabasa .( Didekat Ceylon sekarang ada negeri Maldives). Di Bali Sang Hyang Bayu , bergelar Sri Maharaja Bimo, di Gunung Karang , kerajaannya Medang Gora. ( Pulau Bali juga terkenal sebagai Pulau Dewata) Di Jawa 1. Sang Hyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda, di gunung Mahera , Anyer, Jawa Barat. Kerajaannya Medang Gili.( Asal mulanya penduduk yang tinggal di Jawa bagian barat disebut orang Sunda). 2. Sang Hyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman , di gunung Gora , Gunung Slamet , Jawa Tengah. Kerajaannya Medang Puro. 3. Sang Hyang Indra, bergelar Sri Maharaja Sakra, di gunung Mahameru, Semeru , Jawa Timur. Kerajaannya Medang Gana. Karaton dipuncak gunung Menarik untuk diperhatikan bahwa para dewa selalu membangun karaton dipuncak-puncak gunung. Ini menggambarkan dewa itu berasal dari langit, dari tempat yang tinggi. Tempat tinggi, diatas itu artinya bersih, jauh dari hal-hal kotor, sikap harus dijaga tetap suci, baik, benar, sopan, bagi dewa yang telah menjadi manusia dan tinggal dibumi. Bumi Samboro Ini artinya tanah yang menjulang kelangit. Dalam kebatinan Kejawen, contohnya adalah Gunung Dieng, Adhi Hyang, maksudnya supaya orang selama masih hidup didunia mencapai puncak pengetahuan spiritual, mendapatkan pencerahan jiwani, tinggi elmunya, suci lahir batin. Puncak itu adalah Adhi Hyang atau Bumi Samboro. Dewo ngejowantah Dewa yang menampakkan diri. Dewa yang berbadan cahaya bisa menampakkan diri dan dilihat oleh saudara-saudara kita yang telah tinggi tingkat kebatinannya, yang sudah bontos elmu sejatinya., artinya sudah melihat kasunyataan—kenyataan sejati. Dipandang dari sudut spiritualitas, turunnya dewa ke bumi adalah gambaran dari merasuknya suksma, spirit, jiwa kedalam badan manusia dan lalu menjadi manusia. Oleh karena itu, manusia termasuk manusia Jawa adalah berasal dari suksma, spirit, dewa

Saridin

Saat era Wali Songo, di suatu daerah di pesisir utara pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, tersebutlah seorang pemuda desa yang lugu dan bersahaja, bernama Saridin. Nama Saridin mungkin tidak begitu tenar secara nasional, tapi sudah melegenda secara regional. Region itu adalah wilayah Demak Kudus Pati Juwono Rembang, atau yang sering dilafadzkan sebagai (Anak Wedus Mati Ketiban Pedang). Saridin seorang sakti, namun lugunya tidak ketulungan, sehingga (seakan) tidak menyadari kesaktiannya. Dia pernah membunuh kakak iparnya, karena sang kakak sering mencuri durian miliknya. Saat itu kakaknya menyamar menggunakan pakaian harimau, sehingga Saridin tidak mengenali. Dengan sekali tombak, matilah sang ipar. Saat ditanya oleh petugas, Saridin mengaku tidak membunuh kakaknya, melainkan membunuh harimau yang mencuri duriannya. Meskipun jika pakaian harimau dibuka, Saridin tau bahwa itu kakak iparnya. Kalo secara hukum, Saridin tidak bersalah, karena membela miliknya, dan tidak menyadari kalo harimau itu adalah kakaknya. Namun demikian, Saridin tetap harus dipenjara. Untuk memasukkan ke penjara bukan hal mudah, karena Saridin ngotot tidak bersalah. Akhirnya Adipati Jayakusuma, pemimpin pengadilan, menggunakan kalimat lain, bahwa Saridin tidak dipenjara, melainkan diberi hadiah sebuah rumah besar, diberi banyak penjaga, makan disediakan, mandi diantarkan. Akhirnya Saridin bersedia. Sebelum dipenjara, Saridin bertanya apakah boleh pulang kalo kangen anak dan istrinya. Petugas menjawab: "boleh, asal bisa" Dan terbukti beberapa kali Saridin bisa pulang, keluar dari penjara di malam hari dan kembali lagi esok harinya. Karena Adipati jengkel, Saridin dikenai hukuman gantung. Tapi saat digantung para petugas tidak mampu menarik talinya karena terlalu berat. Saridin menawarkan ikut membantu, dijawab oleh Adipati: "boleh, asal bisa". Dan karena ijin itu Saridin lepas dari talinya, lalu ikut menarik tali gantungan. Adipati semakin murka, dan menyuruh membunuh Saridin saat itu juga. Sebuah tindakan putus asa seorang penguasa. Saridin melarikan diri sampai ke Kudus, yang lalu berguru pada Sunan Kudus. Di sini Saridin tidak berhenti menunjukkan kesaktiannya, malah semakin menonjol. Saat disuruh bersyahadat oleh Sunan Kudus, para santri lain memandang remeh pada Saridin, apa mungkin Saridin bisa mengucapkannya dengan benar. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan semua orang. Saridin justru lari, memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi, dan tanpa ragu terjun dari atasnya. Sampai di tanah, dia tidak apa-apa. Semua pada heran pada apa yang terjadi. Sunan Kudus menjelaskan, bahwa Saridin bukan cuma mengucapkan syahadat, tapi seluruh dirinya bersyahadat, menyerahkan seluruh keselamatan dirinya pada kekuasaan tertinggi. Kalo sekedar mengucapkan kalimat syahadat, anak kecil juga bisa. Namun Saridin masih tetap dilecehkan oleh para santri. Saat ada kegiatan mengisi bak air untuk wudlu, Saridin bukannya diberi ember, malah diberi keranjang. Tapi dengan keranjang itu pula Saridin bisa mengisi penuh bak air. Saat Saridin mengatakan bahwa semua air ada ikannya, tidak ada yang percaya. Akhirnya dibuktikan, mulai dari comberan, air kendi sampai air kelapa, ketika semua ditunjukkan di depan Saridin, semua ada ikannya. Akhirnya Saridin diusir oleh Sunan Kudus, harus keluar dari tanah Kudus. Singkat cerita (susunannya agak lupa), Saridin yang ternyata murid dari Sunan Kalijaga ini bertemu lagi dengan gurunya. Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan, dengan hanya dibekali 2 buah kelapa sebagai pelampung. Tidak boleh makan kalo tidak ada makanan yang datang, dan tidak boleh minum kalo tidak ada air yang turun. Ceritanya terputus sampe di sini saja, ini sudah lebih dari 1 kaset :D *Bersambung !!! Ke sesion yg besok Pada akhirnya, Saridin dikenal sebagai Syeh Jangkung, yang tinggal di desa Landoh, Kayen, Pati. cerita tersebut (sebagai mana cerita yang lain) mengalir lewat cerita-cerita saat melekan (begadang) bersama orang-orang tua, atau dari cerita kethoprak, yang sering kena bumbu di sana-sini. Misalnya kemampuan Saridin menghidupkan orang mati dengan bantuan gamping, lalu menyembuhkan putri Raja Blambangan, dll. Juga mengenai kerbau milik Saridin, yang semula sudah mati, tapi karena (konon) Saridin memberikan sebagian umurnya pada kerbau itu, jadinya kerbau itu hidup lagi. Pada saat Saridin meninggal, kerbau itu juga mati. Lulang (kulit) kerbau tersebut diyakini memiliki kekuatan magis. Barang siapa membawanya, maka tidak akan mempan senjata. Sampai saat ini para kolektor benda antik masih banyak yang memburu kulit ini, yang bernama Lulang Kebo Landoh. Terlepas dari kisah mistis yang terjadi, satu hal yang dapat kita tarik dari kisah Saridin, keluguan justru menghasilkan pandangan yang tulus dan murni

Sepenggal Cerita Wong Jowo Suriname jilid 2

PARAMARIBO – Penetapan hari Lebaran (1 Syawal) pada hari yang berbeda tidak hanya terjadi di Indonesia. Masyarakat Jawa yang tinggal di Republik Suriname ternyata lebih unik lagi. Tahun ini pelaksanaan Idul Fitri di negara yang terletak di Amerika Selatan itu dilakukan pada tiga hari yang berbeda. Seperti yang disaksikan Jawa Pos, sebagian besar masyarakat memang menganut hari raya yang ditetapkan pemerintah (Senin, 23 Oktober) atau sama dengan Muhammadiyah dan Pengurus Wilayah NU Jatim di Indonesia. Tapi, sebagian masyarakat juga melangsungkan Lebaran sehari sebelumnya, Minggu (22/10), dan Rabu (25/10) kemarin. Selain lewat perhitungan (hisab) dan melihat langsung (rukyatul) hilal, penetapan hari Lebaran oleh orang Jawa di Suriname dilakukan berdasar perhitungan mereka sendiri. Yakni, menggunakan prajangka atau perhitungan ala primbon Jawa warisan leluhur. Karena itu, para penganut Lebaran “tidak biasa” tersebut adalah kalangan orang Islam keturunan Jawa yang masih kukuh mempertahankan tradisi peninggalan nenek moyang. “Dados, dinten riyaya meniko sampun kecatet wonten kitab prajangka. Malah ngantos wolung tahun malih, kita sampun ngertos tanggal riyayanipun (Jadi, hari raya itu sudah tercatat dalam kitab prajangka. Bahkan, sampai delapan tahun lagi, kami sudah mengerti tanggalnya, Red),” kata Amat Bakri, 83, imam Masjid Muljo Rukun Islam, Dekraneweg, Lelydorp, Ditrik Wanica. Jamaah masjid yang mayoritas penduduknya keturunan Jawa itu termasuk penganut Islam yang menjaga tradisi. Mereka meyakini apa yang dilakukan nenek moyang (para kuli kontrak asal Jawa) itu adalah tradisi yang harus dipelihara dan tidak boleh diubah. Mereka khawatir, bila menyimpang dari tradisi leluhur, bisa kualat dan dosa. “Aku sakdermo nglaksanake apa sing dilakoni mbah-mbahku biyen sing diwarisake turun-temurun ing kene (Saya sekadar menjalankan apa yang dilakukan nenek moyang dulu yang diwariskan turun-menurun di sini, Red),” tambah Amat. Amat beserta masyarakat muslim di desa mayoritas penduduk keturunan Jawa itu memang baru melaksanakan Lebaran Rabu kemarin atau dua hari setelah Lebaran nasional di Suriname. Selain di Dekraneweg, Lebaran Rabu juga dilangsungkan sebagian masyarakat di Zwampweg, Wanica, pimpinan Slamet Mugi Wiryo, dan di Rostnwerk, Distrik Commewijn, 40 kilometer dari Paramaribo, ibu kota Suriname. Amat yang mengaku leluhurnya berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah, itu mengatakan, penetapan Idul Fiter (penyebutan Idul Fitri di Suriname, Red) dengan prajangka itu sudah ada sejak pertama orang Jawa datang ke negara tropis itu, 116 tahun silam. Sebagai ahli warisnya, Amat dan sekitar 200 jiwa yang berjamaah di masjid tersebut punya tanggung jawab moral untuk melestarikan nilai-nilai tradisi para leluhur tersebut. “Kalau bukan kita yang masih keturunan Jawa di sini (Suriname), siapa lagi yang mau mempertahankan warisan itu,” kata Amat yang petani tersebut. “Entah kalau nanti saya dan orang-orang sepuh di sini sudah tidak ada, saya tidak tahu apakah masih ada yang mau nguri-uri (memelihara, Red) tradisi tersebut,” tambahnya dengan bahasa Jawa kromo andap. Selasa malam (waktu Suriname, lebih lambat 10 jam daripada Indonesia, Red) Jawa Pos mengikuti takbiran di Masjid Muljo Rukun Islam. Malam itu, di masjid ngilenan (istilah untuk jamaah yang salatnya masih menghadap ke arah barat, meski kiblat yang benar di Suriname ke timur, Red) berkumpul sekitar 25 orang jamaah. Umumnya sudah tua-tua. Saat itu sekitar separo jamaah menjalankan salat Isya dan takbiran di dalam masjid, separo lainnya duduk-duduk di serambi sambil menonton jamaah yang sedang salat. Pemandangan seperti itu lumrah di kalangan jamaah ngilenan. “Persis koyo nonton bioskop (Persis seperti orang nonton film di bioskop, Red),” kelakar seorang warga. Irama mereka dalam berdoa dan bertakbir juga lain. Tidak jauh berbeda dengan irama orang sedang menembang Jawa. Khas dan medhok. Hingga Senin (23/10) malam, mereka masih menjalankan salat tarawih. Esok harinya (24/10), puasa tetap dijalankan, dilanjutkan dengan takbiran pada malamnya. Salat Id dilaksanakan esok pagi (kemarin, 25/10), pukul 08.00 di tempat yang sama. Bertindak sebagai imam Mukirin Rowongso, khotib Trimo Karyo Rejo, dan pembaca masiro Kreni Kromo Wijoyo. “Sak bibare salat Id diterusake kenduren. Mangan bareng-bareng sego tumpeng iwak ingkung (Setelah salat Id, berikutnya kenduri. Makan bersama-sama nasi tumpeng dengan lauk daging ayam panggang, Red),” jelas Trimo yang sekaligus takmir masjid itu. Yang juga berbeda dengan tempat lain, malam takbiran di jamaah Lebaran Rabu juga diikuti pesta obor dan minum-minum di sepanjang Jalan Dekraneweg. Ribuan orang tumplek blek di jalan tak seberapa besar itu, sekitar 6 meter kali 3,5 km itu. Hampir di setiap depan rumah milik orang-orang Jawa itu dipasang rangkaian obor dari bambu atau botol sehingga pada malam hari pemandangan tampak cantik. Kira-kira pukul 20.00, suasana mulai ramai. Mereka ramai-ramai kumpul di halaman depan rumah sambil makan-minum dan menyaksikan orang-orang yang berseliweran di jalan. Tidak sedikit yang minum minuman keras. Di Suriname sebutannya sopi (arak). Suara mercon berdesingan memekakkan telinga, ditambah dentuman suara house music dari dalam mobil yang berseliweran di lokasi perayaan. Takbiran juga diwarnai iring-iringan mobil dan motor udhuk-udhuk (sepeda motor, Red) yang dikendarai anak-anak muda. “Tapi, mobil dan motor itu kebanyakan dari luar Dekraneweg. Mereka penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di sini,” tutur Frenky Wursidi, warga setempat. “Mereka tidak hanya orang keturunan Jawa. Seluruh etnis yang ada di Suriname ikut ramai-ramai di Dekraneweg ini,” tambahnya. Yang tak kalah menarik, dandanan anak-anak muda yang hilir mudik di jalan tak beraspal tersebut sungguh menggoda. Para gadis umumnya mengenakan pakaian yang mengumbar aurat. Model tank top atau kaus U can see dengan belahan dada yang cukup rendah. Bahkan, tak jarang cewek-cewek aneka etnis (Jawa, Creole, Hindustan, Brazilia, dan Amerindian) yang hanya mengenakan (maaf, Red) BH dan celana pendek ketat. Mereka berboncengan motor dengan cowok-cowok berkalung emas dan beranting di kuping sambil berteriak, “Tue… tue (Da… da…, Red)” kepada warga yang berdiri di pinggir-pinggir jalan. Menurut Amat Bakri, sejatinya pesta di jalan desa tersebut bukan rangkaian malam takbiran. Tapi, karena sudah menjadi tradisi di desa tersebut untuk menyambut Lebaran, tak ada salahnya jika itu diadakan warga. “Monggo mawon, wong niku sampun dianaaken saben taun (Silakan saja karena pesta itu sudah diadakan setiap tahun, Red).” Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan Ketua Parlemen Suriname Paul Salam Sohohardjo. “Kita harus bisa memahami sejarah orang Jawa di Suriname. Mereka bukan orang-orang sekolahan. Kalau mereka masih ngugemi kebudayaan dan tradisi Jawa tinggalan nenek moyangnya, mengapa harus dilarang,” kata Paul. “Yang penting tidak perlu fanatik dalam beragama. Apalagi Suriname merupakan negara yang beraneka bangsa, agama, dan bahasa. Kita harus menghormati mereka,” tambah ketua Partai Pertjajah Luhur ini Tidak jauh berbeda dengan Lebaran Rabu, umat muslim Jawa yang menggelar Lebaran Minggu (22/10) juga melaksanakan tata cara perayaan Idul Fiter yang sama. Lebaran Minggu ini diikuti antara lain warga Javaweg (Wanica), jamaah Masjid Rohmah Islam di Ramgoelamweg, Clevia, dan Magentaweg. Tiga lokasi terakhir berada di Distrik Paramaribo. Umumnya juga dilakukan warga keturunan Jawa yang berkiblat ngilen (barat). Bedanya dengan Lebaran Rabu, perayaan Lebaran Minggu tidak diikuti dengan acara pesta obor seperti di Dekraneweg. Umat Islam yang berlebaran mendahului sehari dari tanggal yang ditetapkan pemerintah tersebut merayakan Idul Fitri dengan sederhana. Mereka hanya bertakbiran dan berjamaah salat Id di masjid. Setelah itu, bersalam-salaman terus pulang.

Jumat, 20 Desember 2013

Sepenggal cerita wong jowo suriname

Pengetan Imigrasi Jowo Tutup 115 Tahun Poro pemoco kang minulyo, Gegandhengan karo dino pengetan imigrasi Jowo kang kaping 115, ing kene aku arep nyeritakake dongengane ibuku, rikolo jaman biyen dheweke diwereg wong lanang, songko nJowo tekane negoro Suriname. Ibuku anggone nyeritakake lakone dheweke, nganti mbrebes mili, ngodag ngadeg songko jagongane, lan tangane sinambi ora dimenengake” Kiro2 telung atus seket tahun kepungkur negoro Suriname kuwi prenangsine okeh, kurang lebih ono 400 cacahe. Sing ditandur yoh werno2, koyo dene kopi, coklat, jeruk, kapuk, kayu, tebu, lsp. Sing kerjo neng prenangsi2 kuwi bongso ireng asal usule songko Afrika. Podho didadekake budak, dikonkerjo tanpo bayaran, dipiloro, nganti adus eluh kelawan getih. Kahanan koyo mengkono kuwi tekane tahun 1863, sebab wiwit tanggal siji sasi juli, kaum budak podho dibebasake kabeh, tinapi sejerone 10 tahun kudu wajib kerjo neng prenangsine dhewe2, sakiki oleh bayaran, lan ugo ora kelilan yen dipecuti maneh koyo maune. Ono punggowo songko Gupermen sing niti prikso, opo pernatan koyo mengkono kuwi tetep ditindakake dening pengarepe prenangsi2. Sakbare 10 tahun kuwi poro budak terus bebas temenan, lan podho lungo menyang ku-tho Paramaribo, utowo liyo panggonan, supoyo biso golek sandhang kelawan pangan kanti sakmesthine. Neng prenangsi2 ora ono sing kerjo rekoso maneh, lan prenangsi2 terus podho molahi bongkor. Pamrintah Londo mbanjur mboyong bongso Cino songko Macao lan Hongkong dikon kerjo neng prenangsi2 dadi petani, tapi ora podho kuwat. Ugo mboyong bongso Hindustan songko negoro India. Bongso iki biso kerjo roso lan kuwat neng prenangsi2, mulane anggone mboyongi yoh okeh banget. Suwening suwe Londo oleh cecongkrehan karo Inggris bab prekoro pamboyongan bongso Hindustan kuwi mau, sebab Inggris ing jaman semono sing menjajah negoro India. Dadine sing mrintah bongso Hindustan yoh kudune Inggris. Pramulo pamrintah Londo terus nggolek ukoro liyo maneh. Wirehdene tanah Jowo ugo kolonine Londo, mulane pamrintah Londo terus nggawe pamutusan supoyo wong Jowo songko tanah puluh Jowo, diboyongi menyang negoro Suriname, dikon kerjo neng prenangsi2 kuwi mau. Alesane ono werno loro: sepisan, negoro Suriname biso oleh kaum buruh kanggo prenangsi2, lan kaping pindho, tanah Jowo sing wis ora kamot pendhudhuke, biso kelong sethtihik. Wiwit tahun 1890 tekane tahun 1939 pamrintah Londo anggone mboyongi wong Jowo menyang Suriname ono udo koro 33.000 cacahe. Ing bulan agustus tanggal songo tahun iki (2005), bongso Jowo neng Suriname, anggone manggon wis ono 115 tahun suwene. Becik banget yen dino iku pendhak tahun dipengeti. Dhek biyen ibuku nate nyeritakake lakone dheweke, wiwit songko tanah Jowo tekane negoro Suriname. Mulane sakiki aku arep cerito cekak wae, bab dongengane ibuku iku mau. Ibuku kuwi maune kelahiran ing Boyolali cedhak wae karo Solo. Dheweke umure isih 18 tahun, dulure ono papat maneh, lan sing wadon namung loro. Rikolo jaman semono adhike dheweke lanang, sing ragil arep disunati. Dheweke dikongkon menyang pasar blonjo, bab opo kekurangane kanggo selametane. Pasare karo omahe ibuku kuwi ora adoh, dadine anggone budhal menyang pasar mung mlaku wae. Digawani dhuwit kiro2 saksampene, lan terus nggendhong tenggok digawe madhahi blanjane kuwi mau. Neng pasar ibuku kepethukan wong lanang, sing ngidak jempolane sikil kiwo. Ibuku terus makpet, ora kelingan opo2 maneh. Lali sanak kadange kabeh. Wonge lanang ngajak ibuku kerjo neng Suriname, lan saben tahun biso bali neng nJowo niliki sanak kadange. Bayarane okeh, dadine mbesuk nek bali mulih, nggowo dhuwit okeh. Ibuku terus digowo neng palabuan, dijak numpak kapal menyang Suriname suwene telung sasi. Tinapi wonge lanang iku mau, neng njero kapal ibuku ora weruh maneh. Kapale jenenge Roti nomer telu. Mesine kapal anggone jalan ora nganggo lengo, nanging nganggo setum, olehe songko stingkul (= steenkool). Stingkul iku rupane watu ireng gedhih2, tapi biso murub mengangah. Kapale kuwi liwat metu segoro jarang, terus neng njero kapal panase ora karuwan. Liwat segoro es, adheme ora karuwan, podho diwenehi celimut kanggo kemulan. Terus metu segoro umbel, banyune rupane koyo umpluk umbelen kae. Neng njero kapal mangane dirangsum roti bantal. Ugo dirangsum sego, tapi jangane ora enak. Wasi ora enak yoh dipangan wae, sangking ngelihe. Neng njero kapal kono ibuku kepethukan bapaku, terus biso gendhon rukon selawase tekane podho ninggal donyo. Tekan Suriname ibuku kelingan sanak dulure neng nJowo terus adus tangis saben dino, tapi wis laat. Neng Suriname dikon teken kontrak suwene limang tahun. Kontrak kuwi yoh opo maksude, ibuku ora ngerti mung cap jempol wae, iku wis sah. Neng kene dikon kerjo neng prenangsi sing nandur kopi. Wong2ane dikon manggon neng los-losan, lan kamare mung loro: kamar ngarep lan kamar peturon. Kamar ngarep kuwi gandheng karo papan kanggo pawone. Pekiwane lan kakuse neng papan njobo omah. Ngarepe omah ono gadrine, ing ngisore papan njero kanggo kombong pitik, lan ndhuwure keno digawe jagongan pendhak sore songko kerjo, kanggo leren sinambi leyeh2. Antarane gadri lan kamar ngarep ono cendhelane. Lawang mburi ono kancinge songko njero, lah lawang ngarep ugo keno digembok songko njobo. Gemboke gantung gawean songko wesi sing abot. Kuncine loro cacahe. Los-losan kuwi gawean songko planga tanpo cet-cetan. Payone seng, dadine nek awan neng njero omah sumuke ora nguwati. Saben dino wiwit jam pitu esuk podho budhal kerjo nggowo gembolan lan bontot. Bontote iku isine yoh sego karo sayuran sakwernane nyel, diwadhai godhong gedhang, terus njabane dibuntel karo kacu. Nek ora ngati ati bontote nek dhong dicolong karo wong mangkir. Wong mangkir kuwi wong males, sing ora gelem kerjo. Sopo sing nduwe anak, anake dideleh neng momongan dhisik, terus baru budhal kerjo. Wirehdene wite kopi kuwi dhuwur2, mulane terus nggawe ondho pring digawe meneki wite kopi. Gembolane dicangklongake pundhak terus menek ondho, kopine sing dipeki dilebokake gembolan. Mengko yen gembolane wis kebak, terus medhun maneh nyuntak kopine neng njero karung. Angger karunge wis kebak, terus diusungi neng prahu. Mengko angger prahune wis kebak, kopine digowo menyang pabrik ditimbang. Bayarane gumantung karo bobote olehe ngundhuh. Kerjo rekoso, udan panas dilakoni, tur bayarane ora mbejaji. Dino setu kerjane mung setengah hari, terus nompo gajihane. Dhuwite digawe blonjo terus wong lanang2 sukakane yoh podho neng pajak main kertu ceken, utowo main dadhu kopyok. Ugo ono sing main kertu jemeh, pantah, tepuh, lan dhadhu puter. Neng pajak kono ono warunge sing dodolan panganan Jowo koyo dene: pecel, gedhang goreng, lutis, bami, nasi goreng, lsp. Kopine sakbare dionceki terus dipepe, angger wis garing mbanjur digiling neng pabrik. Sakdurunge digiling kudu dipilihi dhisik, sing elek diguwangi. Lumrahe sing kerjo pilih kopi kuwi yoh mung wong wadon. Pabrike kuwi angker, dipanggoni dhemit-setan. Dhong2an wayah jam rolas bengi, pabrike giling dhewe, tanpo ono wong sing ngelakokake. Besare karo zindere lan wong sing jogo, terus podho tangi nggowo batterei, niliki keno opo pabrike kok giling dhewe. Tapi ora weruh opo2, mbanjur mesine dipateni. Mengko yen wis podho mungkur bali, pabrike giling dhewe maneh. Podho bingung. Let dinane terus didongani lan disajeni karo pak kaum sing pinter” Ibuku pendhak tahun wanci dino lebaran adus tangis kelingan sanak kadange sing neng nJowo. Bapaku lan ibuku yoh podho sedhi, kudu bali wae neng nJowo maneh. Tapi ora podho ngerti dalane. Sakbare kerjo neng prenangsi suwene limang tahun, terus manggon neng kebonan (santen), nggawe gubug dhewe lan nandur opo wae kanggo mangane saben dinane. Wirehdene ora biso bali neng nJowo maneh, mulane dhuwite sipi dijikuk, kanggo tuku ubo rampene gubug kuwi mau. Satus perak ing ndalem wong siji, lah ing jamane semono iku yoh wis okeh banget. Senajan wis bebas manggon neng kebonan, mekso ish kepengin mulih nJowo. Mulane rikolo ono sakwijine perkumpulan sing jarene arep ngulihake wong Jowo menyang nJowo maneh, bapaku terus dadi wargane lan saben sasi asok kontrobisi. Ketuahe omonge, ora suwe maneh podho biso mulih nJowo, podho biso tumeko neng pelatarane dhewe2. Nek bapaku arep nandur jeruk utowo klopo, tanggane omonge, lah arep mulih nJowo wae kok ditandure jeruk. Mbesuk lak ora melu mangan, mung nandurake wong liyan wae. Sebab songko iku sing ditandur mung kacang lanjaran, kacang brol, kapusein, dhelih, telo, lsp. Tanduran2 kuwi mung sing ora let suwe ngundhuhe. Yen ketua perkumpulan kuwi teko neng desaku, podho rame2 suko2, sebab ketua iku sing biso ngulihake bongso Jowo menyang nJowo maneh. Ketuahe ngomong yen Indonesia sakiki wis merdeka, dadine bongso Jowo neng Suriname kudu bali kabeh maneh. Kapale isih neng tengah segoro, rong tahun maneh bakal tumeko. Ora suwe maneh “aku akan tinggal Suriname”. Siwaku lanang ngomong karo aku: lho lak tenan, yoh lih, ketuahe kae arep ninggal negoro Suirname bali manggon neng nJowo. Mulane terus bocah2 podho nganggo sandhangan sing apik, sing resik, kanggo menghurmati bapak ketua, karo nggowo gendero abang-putih diobat abitke, podho surak2 mowo singi lagu2 sing wis diapalake, koyo dene: Kita seneng ketuaku dateng Kita seneng bendera berdiri Kita semua berkata merdeka Merah puti benderaku negeri Semua orang kita laki istri Jangan susah dan jangan sedi Masuk perjuangan paling sekti Kita semua mesthi akan pergi *** Indonesia tanah airku Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku Tanah tumpah darahku Bangsaku rayatku semuanya Disana lah aku berdiri Bangunlah jiwanya bangunlah pandonya Menjadi pandu ibuku Untuk Indonesia Raya Indonesia kebangsaanku Indonesia Raya merdeka merdeka Bangsa dan tanah airku Tanahku negeriku yakucinta Marilah kita berseru Indonesia Raya merdeka merdeka Indonesia bersatu Hiduplah Indonesia Raya” Sakbare singi lagu2 iku terus kon singi lagu “Wilhelmus van Nassauwe” karo lagu “Suriname”s trotse stromen”. Lagu2 koyo mengkono kuwi aku ora ngerti babar blas opo maksude. Aku mung melu singi, anut grubyug ora ngerti rembug. Mengko yen wis podho singi ngono, terus bocah2 diparingi roti bolu legi sing ono manisane, karo ngombe es gosrok sak gelas, disori setrup legi sing rupane abang. Adhuuuh, enake ra karuwan. Bapak ketua nyeritakake maneh, jarene ono salah sijine golongan, sing ora setuju yen bongso Jowo mulih neng nJowo maneh. Lah golongan iki kudu ojo nganti biso mlebu neng deso kono. Sebab golongan kuwi pendhak bengi podho dlusupan nggowo sutu, terus podho nyutoni uwong2, ben podho kuwalik imane. Mulane bocah2 nek wayah bengi ojo nganti dolan dhewe. Lan desane kudu nganakake kumpulan, kanggo njogo wargane neng deso kono. Pramulo podho nggawe kumpulan Bantheng Hitam (BH). Sandhangane kathok ireng, klambi ireng, terus kudu biso baris koyo kumpeni wae, sinambi dipasangi lagu, koyo mengkene: Mari mari sama berjalan Bangsa kita mari belajar Angkat kaki terlenggan tangan Perlu mandhenger kemandonya Jangan lupa kemandonya F.A. itu nama berdiri Angkat kaki kiri kanan Sekali itu lepas tangan Bras, bres, bras, bres, kiwo, tengen, kiwo, tengen, iku suwarane kemandohe. Saben bengi desaku dijogo karo BH, dadi yoh aman temenan. BH iku nek podho baris ngono gawane yoh berang, peso, arit, roti kalung, penthung, lsp. Bapaku gawane berang buntung sing landhepe ora karuwan. Jarene kanggo ngelawan wong2 sing arep podho nyutoni kuwi mau. Nek padhang mbulan aku melu nonton wong2 BH anggone podho baris turut dalan lanti. Nek ono wong nduwe gawe tayuban, wong BH podho ngguyupi jan murub tenan. Nek ngibing gendhinge “presi” utowo “mandhung2″, utowo “cokro negoro”. Wadhuuh, tapake jangka songo, jan ora ngidap idapi temenan. Kathik ledheke Mina utowo Paidja utowo Kastinie utowo Doebroek pisan, yoh wis mathuk temenan. Kajobo BH ugo bocah2 kudu mlebu dadi wargane kumpulan PRIS. Sebab sing ngganti BH mbesuke yog bocah2 kuwi. Sandhangane kathok putih klambine putih, sepatune patah2 sing disemir putih, terus kudu biso baris koyo BH, mowo diiringi lagu, koyo mengkene: Semua PRIS harus mangerti tulis Semua PRIS orang Jawa Supaya lekas belajar baris Lekas berangkat ketanah air kita Majuki PRIS pengurus PRIS Sebab PRIS pagernya warga Jaga rayat yang ati ati Selalu jadi pembantu rayatnya Pak bapak kapan yang keturutan Di Suriname tidak kerasan Sebab terlalu banyak setan Susah sekali mencari makan Poro pemoco kang minulyo, nek neng desaku ono wong sing ora mlebu neng perkumpulane bapaku, wong kuwi dicing, dibaekot. Nek kepaten utowo nek nduwe gawe opo wae, ora diguyupi. Tapi nek bongso keling neng deso kono, podho diguyupi. Mulane terus wong2e Jowo sing neng golongane liyo kuwi, kapekso podho lungo neng liyo deso, sebab ora kerasan. Tinapi bapaku lan ibuku anggone podho ngenteni kapale iku, nganti wis podho tilar ndonyo, sakenggo sakiki (tahun 2005) durung teko2. Opo kapitene kesasar ora ngerti negoro Suriname iku papane neng ngendi, yoh” Aku nate dikandhani bapaku mengkene: lik, mbesuk nek wis tekan nJowo kowe tak duduhi gunung. Neng kono gunung akeh, gunung cendhek gunung dhuwur, ono sing cilik, ono sing gedhih, eneng sing mbledos metu genine barang. Ugo ono manuk sing jenenge Srigunting. Iku manuk sing cilik mrengil tur metune kemruyuk saben sore. Kowe bakale takgawekake layangan bapangan sing gedhih. Ragangane sing digawe iku pring apus. Ing negoro Suriname ora eneng prĂ­®§ sing apus” Tanggaku wong keling sing nandur jeruk lan klopo, ing dinane sakiki biso ngundhuhi kanggo pakaryan. Aku bungah lan gembiro yen turunane bongso Jowo, sing ing generasi loro lan telu, ing jamane sakiki biso maju lan pinter2, ono sing biso lulus songko universitas barang. Lan pangkate yoh ora nguciwani, kepandhingake karo bongso liyo sing ono Suriname. Ono sing biso dadi mentri2, ono sing dadi dutabesar lan ugo ono sing biso dadi Pangarsane DPR. Podho ora kepengin mulih nJowo koyo wong tuwane maune. Nek menyang nJowo mung vakansi thok, terus bali maneh.Wis podho ngakoni yen tanah Suriname kuwi, yoh tanah wutah dharahe dhewe, sing ugo melu mbangun lan nduweni. “Heri libi te na dede, wi sa feti ji Sranang”. Cukup semene dhisik, mbesuk ing liyo waktu tak sambung maneh, nuwun