www.arcocrewek.com

Arcocrewek

Jumat, 28 Maret 2014

Sejarah runtuhing Mojopahit

Ketika pertama Islam masuk ke Tanah Jawa. Tidaklah semulus yang orang sangka. Sebab Tanah Jawa sudah ada manusia. Juga ada bangsa jin yang menganut kepercayaan kuno. Ada yang menduga mereka adalah penganut Hindu dan Budha. Yakni agama yang pada saat itu berkembang. Namun banyak yang menduga mereka adalah penganut kepercayaan Jawa kuno. Mereka ini dipimpin Sabdo Palon.  Karena paham mereka yang berbeda. Maka ketika Islam masuk disambut dengan peperangan. Bukan perang sembarang perang. Namun perang magic. Perang ilmu-ilmu gaib. Sehingga tidak sedikit ulama Islam yang dikirim dari Mesir tewas dalam peperangan magic itu. Dalam wadah kasar mereka tewas karena tersapu gelombang pasang, semacam tsunami dan sebagainya. Perang itu berlanjut dengan banyaknya jatuh korban di kedua pihak. Maka diutuslah Syekh Subakir(baca juga tentang walisongo), ulama asal Persia (Iran) yang dikenal ahli ilmu ghoib dan bisa melihat bangsa jin. Dengan kedatangan Syekh Subakir benteng pertahanan Sabdo Palon yang super ketat dapat ditembus. Dan banyak bangsa jin atau manusia pengikut Sabdo Palon yang binasa. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Sabdo Palon mengadakan gencatan senjata. Dia mengajak Syekh Subakir berunding dan menghentikan perang. Syekh Subakir menerima ajakan tersebut dengan tangan terbuka. Karena dia juga melihat jalan perundingan jauh lebih baik daripada melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Kemudian terjadilah kesepakatan antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon. Isi kesepakatan itu antara lain, Islam boleh berkembang atau disebarkan di Tanah Jawa tetapi tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan. Islam harus menghormati dan menghargai budaya, adat istiadat setempat. Islam tidak boleh memaksa orang yang berbeda keyakinan untuk memeluk agama baru tersebut. Dan kalau orang Islam yang memimpin atau jadi pemimpin harus mengayomi semua orang, semua agama, dan semua kepercayaan. Menjunjung tinggi kearifan lokal. Dan sejak itu Sabdo Palon bersama pengikutnya, termasuk Mbah Petruk moksa. Mereka hilang dari pandangan umum dan tidak mudah dilihat oleh manusia biasa. Hanya mereka yang memiliki kelebihan dan paham ilmu ghoib yang dapat melihatnya. Sebelum menghilang Sabdo Palon sempat berpesan kepada Syekh Subakir. Bahwa suatu ketika dia (Sabdo Palon) atau pengikutnya (Mbah Petruk) akan kembali menunjukan jati dirinya, kalau pemimpin negeri ini tidak amanah. Tidak mencintai rakyat. Hanya berbuat untuk kesenangan dirinya dan kelompoknya saja. Sementara membiarkan rakyat dalam kesengsaraan dan penderitaan. Kemunculan Sabdo Palon dan para pengikutnya, Mbah Petruk untuk menagih janji. Sekaligus mengingatkan agar para pemimpin negeri segera sadar, ingat rakyat, dan ingat bangsa. Kalau tidak. Selain akan banyak lagi bencana yang akan melanda negeri ini. Mereka, para pemimpin pada gilirannnya juga akan menerima bencana. Bahkan bencana yang akan menimpa mereka lebih dasyat, lebih mengerikan, dan menakutkan. Silakah Anda boleh percaya kepada cerita babad Tanah Jawa ini atau tidak. Terserah saja.  Inilah Serat Sabdo Palon Penguasa Ghaib Tanah Jawa

  1. Pada sira ngelingana Carita ing nguni-nguni Kang kocap ing serat Babad Babad nagari Mojopahit Nalika duking nguni Sang-a Brawijaya Prabu Pan samya pepanggihan Kaliyan Njeng Sunan Kali Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

Ingatlah kalian semua, Akan cerita masa lalu, Yang tercantum didalam Babad ( Sejarah ) Babad Negara Majapahit, Ketika itu, Sang Prabhu Brawijaya, Tengah bertemu, Dengan Kangjeng Sunan Kalijaga, Ditemani oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong

. 2. Sang-a Prabu Brawijaya Sabdanira arum manis Nuntun dhateng punakawan Sabda Palon paran karsi Jenengsun sapuniki Wus ngrasuk agama Rasul Heh ta kakang manira Meluwa agama suci Luwih becik iki agama kang mulya.

Sang Prabhu Brawijaya, Bersabda dengan lemah lembut, Mengharapkan kepada kedua punakawan( pengiring dekat )-nya, Tapi Sabdo Palon tetap menolak, Diriku ini sekarang, Sudah memeluk Agama Rasul (Islam), Wahai kalian kakang berdua, Ikutlah memeluk agama suci, Lebih baik karena ini agama yang mulia.

3. Sabda palon matur sugal Yen kawula boten arsi Ngrasuka agama Islam Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu Sagung kang para Nata Kang jumeneng ing tanah Jawi Wus pinasthi sayekti kula pisahan.

Sabdo Palon menghaturkan kata-kata agak keras, Hamba tidak mau, Memeluk agama Islam, Sebab hamba ini sesungguhnya, Raja Dahnyang ( Penguasa Gaib ) tanah Jawa, Memelihara kelestarian anak cucu ( penghuni tanah Jawa ), (Serta) semua Para Raja, Yang memerintah di tanah Jawa, Sudah menjadi suratan karma (wahai Sang Prabhu), kita harus berpisah


. 4. Klawan Paduka sang Nata Wangsul maring sunya ruri Mung kula matur petungna Ing benjang sakpungkur mami Yen wus prapta kang wanci Jangkep gangsal atus taun Wit ing dinten punika Kula gantos agami Gama Budhi kula sebar ing tanah Jawa.

Dengan Paduka Wahai Sang Raja, Kem
bali ke Sunyaruri (Alam kosong tapi ber-'isi'; Alam yang tidak ada tapi ada), Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung, Kelak sepeninggal hamba, Apabila sudah datang waktunya, Genap lima ratus tahun, Mulai hari ini, Akan saya ganti agama (di Jawa), Agama Buddhi akan saya sebarkan ditanah Jawa.

5. Sinten tan purun nganggeya Yekti kula rusak sami Sun sajakken putu kula Berkasakan rupi-rupi Dereng lega kang ati Yen durung lebur atempur Kula damel pratandha Pratandha tembayan mami Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.

Siapa saja yang tidak mau memakai, Akan saya hancurkan, Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal, Makhluk halus berwarna-warni, Belum puas hati hamba, Apabila belum hancur lebur, Saya akan membuat pertanda, Pertanda sebagai janji serius saya, Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar

. 6. Ngidul ngilen purugira Nggada banger ingkang warih Nggih punika wedal kula Wus nyebar agama budi Merapi janji mamai Anggereng jagad satuhu Karsanireng Jawata Sadaya gilir gumanti Boten kenging kalamunta kaowahan.


Kearah selatan barat mengalirnya, Berbau busuk air laharnya, Itulah waktunya, Sudah mulai menyebarkan agama Budhi, Merapi janji saya, Menggelegar seluruh jagad, Kehendak Tuhan, (Karena) segalanya (pasti akan) berganti, Tidak mungkin untuk dirubah lagi. Note [Suchamda] : Agama Budhi bukan berarti semata agama Buddha, tetapi adalah AGAMA KESADARAN / ELING / HAKIKAT yang bisa meredam kemurkaan alam..

7. Sanget-sangeting sangsara Kang tuwuh ing tanah Jawi Sinengkalan tahunira Lawon Sapta Ngesthi Aji Upami nyabarang kali Prapteng tengah-tengahipun Kaline banjir bandhang Jeronne ngelebna jalmi Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Sangat sangat sengsara, Yang hidup ditanah Jawa, Perlambang tahun kedatangannya, LAWON SAPTA NGESTI AJI ( LAWON ; 8, SAPTA ; 7, NGESTHI ; 9, AJI ; 1 = 1978), Seandainya menyeberangi sebuah sungai, Ketika masih berada ditengah-tengah, Banjir bandhang akan datang tiba-tiba, Tingginya air mampu menenggelamkan manusia, Banyak manusia sirna karena mati



. 8. Bebaya ingkang tumeka Warata sa Tanah Jawi Ginawe kang paring gesang Tan kenging dipun singgahi Wit ing donya puniki Wonten ing sakwasanipun Sedaya pra Jawata Kinarya amertandhani Jagad iki yekti ana kang akarya

. Bahaya yang datang, Merata diseluruh tanah Jawa, Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup, Tidak bisa untuk ditolak, Sebab didunia ini, Dibawah kekuasaan, Tuhan dan Para Dewa, Sebagai bukti, Jagad ini ada yang menciptakan.

9. Warna-warna kang bebaya Angrusaken Tanah Jawi Sagung tiyang nambut karya Pamedal boten nyekapi Priyayi keh beranti Sudagar tuna sadarum Wong glidhik ora mingsra Wong tani ora nyukupi Pametune akeh sirna aneng wana

. Bermacam-macam mara bahaya, Merusak tanah Jawa, Semua yang bekerja, Hasilnya tidak mencukupi, Pejabat banyak yang lupa daratan, Pedagang mengalami kerugian, Yang berkelakuan jahat semakin banyak, Yang bertani tidak mengahasilkan apa-apa, Hasilnya banyak terbuang percuma dihutan.

10. Bumi ilang berkatira Ama kathah kang ndhatengi Kayu katahah ingkang ilang Cinolong dening sujanmi Pan risaknya nglangkungi Karana rebut rinebut Risak tataning janma Yen dalu grimis keh maling Yen rina-wa kathah tetiyang ambengal.

Bumi hilang berkahnya, Banyak hama mendatangi, Pepohonan banyakyang hilang, Dicuri manusia, Kerusakannya sangat parah, Sebab saling berebut, Rusak tatanan moral, Apabila malam hujan banyak pencuri, pabila siang banyak perampok


. 11. Heru hara sakeh janma Rebutan ngupaya anggering praja Tan tahan perihing ati Katungka praptaneki Pageblug ingkang linangkung Lelara ngambra-ambara Warading saktanah Jawi Enjing sakit sorenya sampun pralaya

. Huru hara seluruh manusia, Berebut kekuasan kerajaan, Tidak tahan perdihnya hati, Disusul datangnya, Wabah yang sangat mengerikan, Penyakit berjangkit kemana-mana, Merata seluruh tanah Jawa, Pagi sakit sorenya mati

. 12. Kesandhung wohing pralaya Kaselak banjir ngemasi Udan barat salah mangsa Angin gung nggegirisi Kayu gung brasta sami Tinempuhing angin agung Kathah rebah amblasah Lepen-lepen samya banjir Lamun tinon pan kados samodra bena.

Belum selesai wabah kematian, Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi, Hujan besar salah waktu, Angin besar mengerikan, Pohon-poho besar bertumbangan, Disapu angin yang besar, Banyak yang roboh berserakan, Sungai-sungai banyak yang banjir, Apabila dilihat bagaikan lautan.

13. Alun minggah ing daratan Karya rusak tepis wiring Kang dumunung kering kanan Kajeng akeh ingkang keli Kang tumuwuh apinggir Samya kentir trusing laut Sela geng sami brasta Kabalebeg katut keli Gumalundhung gumludhug suwaranira.

Ombak naik kedaratan, Membuat rusak pesisir pantai, Yang berada dikiri kanannya, Pohon banyak yang hanyut, Yang tumbuh dipesisir, Hanyut ketengah lautan, Bebatuan besar hancur berantakan, Tersapu ikut hanyut, Bergemuruh nyaring suaranya.

14. Hardi agung-agung samya Huru-hara nggegirisi Gumleger swaranira Lahar wutah kanan kering Ambleber angelebi Nrajang wana lan desagung Manungsanya keh brasta Kebo sapi samya gusis Sirna gempang tan wonten mangga puliha

. Gunung berapi semua, Huru hara mengerikan, Menggelegar suaranya, Lahar tumpah kekanan dan kekirinya, Menenggelamkan, Menerejang hutan dan perkotaan, Manusia banyak yang tewas, Kerbau dan Sapi habis, Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.

15. Lindhu ping pitu sedina Karya sisahing sujanmi Sitinipun samya nela Brekasakan kang ngelesi Anyeret sagung janmi Manungsa pating galuruh Kathah kang nandhang roga Warna-warna ingkang sakit Awis waras akeh klang prapteng pralaya

. Gempa bumi sehari tujuh kali, Membuat ketakutan manusia, Tanah banyak yang retak-retak, Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam, menyeret semua manusia, Manusia menjerit-jerit, Banyak yang terkena penyakit, Bermacam-macam sakitnya, Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.

16. Sabda Palon nulya mukswa Sakedhap boten kaeksi Wangsul ing jaman limunan Langkung ngungun Sri Bupati Njegreg tan bisa angling Ing manah langkung gegetun Kedhuwung lepatira Mupus karsaning Dewadi Kodrat iku sayekti tan kena owah.

Sabdo Palon kemudian menghilang, Sekejap mata tidak terlihat sudah, Kembali ke alam misteri, Sangat keheranan Sang Prabhu, Terpaku tidak bisa bergerak, Dalam hati merasa menyesal, Merasa telah berbuat salah, Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan, Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa dirubah lagi. (Diterjemahkan oleh : Damar Sashangka)

.  Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah 'PENUNTUN GAIB YANG MEWUJUD'. Beliau berdua senantiasa hadir mengiringi Raja-Raja Jawa jaman Hindhu Buddha. Beliau berdua pergi meninggalkan tanah Jawa semenjak Keruntuhan Majapahit pada tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Terkenal dengan SURYA SANGKALA (KATA SANDHI PENANDA TAHUN KEJADIAN) yang sangat populer di Jawa, yaitu SIRNA ILANG KERTHANING BHUMI ( SIRNA : 0, ILANG : 0, KERTHA : 4, BHUMI : 1 = 1400 Saka). Kalimat KERTHAning BHUMI, diambil dari nama asli PRABHU BRAWIJAYA PAMUNGKAS (PAMUNGKAS=TERAKHIR), yaitu RADEN KERTHABHUMI. Janji kedatangan Beliau berdua diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh pasukan Demak Bintara. Prabhu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur, hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di Blambangan ( Banyuwangi sekarang). Raden Patah, Pemimpin Demak Bintara, merasa bangga telah menghancurkan Majapahit yang dia anggap sebagai negara kafir. Serta merta, setelah mendengar kabar berhasil dikuasainya Majapahit oleh tentara Islam, Raden Patah datang dari Demak, ingin melihat langsung keadaan Majapahit yang berhasil dihancurkan. Setelah itu, dengan bangga beliau meneruskan perjalanannya ke Pesantren Ampeldhenta, hendak mengabarkan keberhasilan itu. Namun ternyata, Nyi Ageng Ampel, istri almarhum Sunan Ampel, malah mempersalahkannya. Nyi Ageng Ampel mengingatkan bahwa dulu semasa Sunan Ampel masih hidup, beliau pernah berpesan bahwsanya jangan sekali-kali murid-murid beliau ikut campur masalah politik, atau malah berani merebut kekuasaan Majapahit. Bahkan Nyi Ageng dengan tegas menambahkan, Raden Patah telah berdosa tiga hal : 1.Kepada Guru, yaitu melanggar wasiat Sunan Ampel. 2.Kepada Ayah, karena Prabhu Brawijaya adalah ayah kandung Raden Patah. 3.Kepada Raja, karena Raja adalah Imam, tidak boleh dilawan tanpa alasan yang benar. Sebab, selama memerintah, Prabhu Brawijaya tidak pernah melarang penyebaran agama Islam, bahkan menghadiahkan tanah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ), sebagai tanah otonom. Diijinkan untuk dipakai sebagai basis pendidikan agama bagi orang-orang muslim. Dengan sangat menyesal, Raden Patah meminta petunjuk, bagaimanakah cara untuk menghapus kesalahannya. Nyi Ageng menyarankan agar kedudukan Prabhu Brawijaya Pamungkas sebagai Raja harus dikembalikan. Namun yang menjadi masalah, kemanakah Sang Prabhu meloloskan diri? Nyi Ageng memperkirakan, Sang Prabhu pasti menuju ke Pulau Bali.  Raden Patah berniat menyusul sendiri, namun dicegah Nyi Ageng Ampel, karena setelah kejadian penyerangan Majapahit oleh tentara Islam terjadi, maka, tidak akan ada satupun orang Islam yang akan dipercayai oleh Sang Prabhu. Tidak Raden Patah, tidak Nyi Ageng Ampel, tidak pula Para Wali yang lain, yang turut serta membantu penyerangan tersebut. Namun, hanya ada dua Wali yang mungkin masih beliau percayai, pertama Syeh Siti Jenar dan kedua Sunan Kalijaga. Karena kedua Wali ini terang-terangan menentang penyerangan pasukan Islam ke Majapahit. Karena hubungan Raden Patah tidak begitu baik dengan Syeh Siti Jenar, maka dia meminta pertolongan Sunan Kalijaga untuk melacak keberadaan ramanda-nya. Dan jika ditemukan, dimohon dengan segala hormat untuk kembali ke Trowulan, ibukota Majapahit, untuk dikukuhkan lagi sebagai Raja. Sunan Kalijaga bersedia membantu, ditemani beberapa santri beliau langsung melakukan pencarian ke arah Timur. Dan ternyata benar, di Blambangan, banyak umbul-umbul pasukan Majapahit serta para prajurid Majapahit yang siap tempur berkumpul disana. Dan benar pula, Prabhu Brawijaya masih ada disana, belum menyeberang ke Pulau Bali. Agak kesulitan Sunan Kalijaga memohon bertemu dengan Sang Prabhu. Namun karena Sang Prabhu tahu betul, Sunan Kalijaga, yang seringkali beliau panggil Sahid itu, menurut pasukan sandhi (intelejen) Majapahit , Sunan Kalijaga bersama pengikutnya,sama sekali tidak ikut dalam penyerangan ke Majapahit, maka Sunan Kalijaga dipersilahkannya menghadap, walau dengan kawalan ketat. Disinilah dialog SERAT SABDO PALON terjadi. Sang Prabhu Brawijaya, ditemani Sabdo Palon dan Naya Genggong, dihadap oleh Sunan Kalijaga,beserta sesepuh Majapahit yang kebetulan bersama-sama Sang Prabhu hendak menuju Pulau Bali, menyusul beberapa masyarakat Jawa lainnya yang lebih dahulu melarikan diri kesana. Mendengar penuturan Sunan Kalijaga,Sang Prabhu luruh hatinya. Karena sejatinya, Sang Prabhu kini tengah menggalang kekuatan besar untuk merebut kembali tahta dari tentara Islam. Tidak bisa dibayangkan apabila itu terjadi, karena pendukung Sang Prabhu Brawijaya masih banyak tersebar diseluruh Nusantara. Pertumpahan darah yang lebih besar pasti akan terjadi. Putra-putra Prabhu Brawijaya masih banyak yang berkuasa dan mempunyai kekuatan tentara yang besar, seperti Adipati Handayaningrat IV di Pegging, Lembu Peteng di Madura, Bondhan Kejawen di Tarub dan masih banyak lagi. Sunan Kalijaga meminta, agar pertikaian dihentikan, dan sudilah kiranya Sang Prabhu kembali memegang tampuk pemerintahan. Prabhu Brawijaya menolak, karena jikalau itu terjadi, maka beliau akan merasa terhina oleh putra selirnya sediri, Raden Patah, yang lahir dari putri China Eng-Kian dan dibesarkan di Palembang dalam asuhan Adipati Arya Damar atau Swan Liong. Bagaimana tidak, seorang ayah harus menerima tahta dari anaknya sendiri, memalukan. Ketika perundingan menemui jalan buntu, maka Sunan Kalijaga mengusulkan agar beliau dengan kebesaran jiwa, mau memeluk Islam. Dengan demikian, seluruh pendukung beliau pasti akan meninggalkan beliau satu persatu, dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi akan terhindar. Mendengar akan hal itu, Prabhu Brawijaya tercenung, untuk menghindari peperangan lebih besar, setidaknya, usulan Sunan Kalijaga memang masuk akal. Demi perdamaian, Sang Prabhu mengesampingkan ego-nya. Maka PENUH dengan kebesaran hati, beliau menyatakan MASUK ISLAM. Terkejut seluruh yang hadir, termasuk Sabdo Palon dan Naya Genggong. Hingga, terlontarlah sebuah janji seperti tercantum pada SERAT SABDO PALON diatas. Sepeninggal Sabdo Palon dan Naya Genggong, Sang Prabhu-pun bersedia kembali ke Trowulan, namun bukan hendak kembali memduduki tahta, akan tetapi mendamaikan seluruh kerabat Majapahit agar merelakan tahta dipegang oleh Raden Patah. Dalam perjalanan pulang inilah, Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang Prabhu dalam memeluk Islam.  Sunan Kalijaga memohon untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu. Dengan sebilah keris, setelah diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Tapi ternyata, tidak satu helai-pun terpotong. Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Kali ini, terpotong sudah. Namun, Sunan Kalijaga belum puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu. Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk, nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahr bathin masuk Islam. Berangkatlah rombongan itu ke Trowulan,sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Trowulan. Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah jernih. Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi BANYUWANGI hingga sekarang. Tidak berapa lama di Trowulan, Sang Prabhu jatuh sakit. Putra-putranya datang berkumpul, melalui Sunan Kalijaga, beliau mengamanatkan agar menghentikan pertumpahan darah Hindhu-Buddha dengan Islam. Biarkanlah Raden Patah bertahta sebagai Raja di Jawa walau sebenarnya, keturunan dari Pengging-lah yang lebih berhak. Menjelang akhir hayat beliau, beliau berpesan agar diatas pusara makam beliau jangan diberi tanda bahwasanya beliau adalah Prabhu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir, namun tandailah dengan nama Putri Champa Anarawati, permaisuri beliau. Sebab beliau merasa diperhinakan sebagaimana wanita oleh putraya sendiri. Dan penghinaan itu didukung oleh permaisurinya sendiri, Dewi Anarawati, putri Champa yang beragama Islam. Dewi Anarawati inilah bibi Sunan Ampel. Dewi Anarawati-lah yang menyarankan agar Sang Prabhu memberikan Ampeldenta kepada Sunan Ampel untuk didirikan sebuah Pesantren Islam. Maka jangan heran, apabila di Trowulan, tidak diketemukan makam Prabhu Brawijaya, melainkan Putri Champa. Padahal makam Putri Champa yang asli berada di Gresik. Begitu Majapahit diserang pasukan Islam, beliau diungsikan ke Gresik hingga beliau wafat

Kitab JOYOBOYO

Kitab Musarar inganggit Duk Sang Prabu Jayabaya Ing Kediri kedhatone Ratu agagah prakosa Tan ana kang malanga Parang muka samya teluk Pan sami ajrih sedaya Milane sinungan sakti Bathara Wisnu punika Anitis ana ing kene Ing Sang Prabu Jayabaya Nalikane mangkana Pan jumeneng Ratu Agung Abala para Narendra Wusnya mangkana winarni Lami-lami apeputra Jalu apekik putrane Apanta sampun diwasa Ingadekan raja Pagedhongan tanahipun Langkung arja kang nagara Maksihe bapa anenggih Langkung suka ingkang rama Sang Prabu Jayabayane Duk samana cinarita Pan arsa katamiyan Raja Pandhita saking Rum Nama Sultan Maolana Ngali Samsujen kang nami Sapraptane sinambrama Kalawan pangabektine Kalangkung sinuba suba Rehning tamiyan raja Lan seje jinis puniku Wenang lamun ngurmatana Wus lengah atata sami Nuli wau angandika Jeng Sultan Ngali Samsujen “Heh Sang Prabu Jayabaya Tatkalane ing sireku Kandhane Kitab Musarar Prakara tingkahe nenggih Kari ping telu lan para Nuli cupet keprabone Dene ta nuli sinelan Liyane teka para” Sang Prabu lajeng andeku Wus wikan titah Bathara Lajeng angguru sayekti Sang-a Prabu Jayabaya Mring Sang raja pandhitane Rasane Kitab Musarar Wus tunumlak sadaya Lan enget wewangenipun Yen kantun nitis ping tiga Benjing pinernahken nenggih Sang-a Prabu Jayabaya Aneng sajroning tekene Ing guru Sang-a Pandhita Tinilar aneng Kabah Imam Supingi kang nggadhuh Kinarya nginggahken kutbah Ecis wesi Udharati Ing tembe ana Molana Pan cucu Rasul jatine Alunga mring Tanah Jawa Nggawa ecis punika Kinarya dhuwung puniku Dadi pundhen bekel Jawa Raja Pandhita apamit Musna saking palenggahan Tan antara ing lamine Pan wus jangkep ing sewulan Kondure Sang Pandhita Kocapa wau Sang Prabu Animbali ingkang putra Tan adangu nulya prapti Apan ta lajeng binekta Mring kang rama ing lampahe Minggah dhateng ardi Padhang Kang putra lan keng rama Sakpraptaning ing gunung Minggah samdyaning arga Wonten ta ajar satunggil Anama Ajar Subrata Pan arsa methuk lampahe Mring Sang Prabu Jayabaya Ratu kang namur lampah Tur titit Bathara Wisnu Njalama Prabu Jayabaya Dadya Sang Jayabaya ji Waspada reh samar-samar Kinawruhan sadurunge Lakune jagad karana Tindhake raja-raja Saturute laku putus Kalawan gaib sasmita Yen Islama kadi nabi Ri Sang aji Jayabaya Cengkrameng ardi wus suwe Apanggih lawan ki Ajar Ajar ing gunung Padhang Awindon tapane guntur Dadi barang kang cinipta Gupuh methuk ngacarani Wus tata denya alenggah Ajar angundang endhange Siji nyunggi kang rampadan Isine warna-warna Sapta warna kang sesuguh Kawolu lawan ni endang Juwadah kehe satakir Lan bawang putih satalam Kembang melathi saconthong Kalawan getih sapitrah Lawan kunir sarimpang Lawan kajar sawit iku Kang saconthong kembang mojar Kawolu endhang sawiji Ki Ajar pan atur sembah “Punika sugataningong Katura dhateng paduka” Sang Prabu Jayabaya Awas denira andulu Sedhet anarik curiga Ginoco ki Ajar mati Endhange tinuweng pejah Dhuwung sinarungken age Cantrike sami lumajar Ajrih dhateng sang nata Sang Rajaputra gegetun Mulat solahe kang rama Arsa matur putra ajrih Lajeng kondur sekaliyan Sapraptanira kedhaton Pinarak lan ingkang putra Sumiwi munggweng ngarsa Angandika Sang-a Prabu Jayabaya mring kang putra “Heh putraningsun ta kaki Sira wruh solahing Ajar Iya kang mati dening ngong Adosa mring guruningwang Jeng Sultan Maolana Ngali Samsujen ta iku Duk maksih sami nom-noman Sinom Pan iku wus winejang Mring guru Pandhita Ngali Rasane kitab Musarar Iya padha lawan mami Nanging anggelak janji Cupet lelakoning ratu Iya ing tanah Jawa Ingsun pan wus den wangeni ari loro kaping telune ta ingwang Yen wis anitis ping tiga Nuli ana jaman maning Liyane panggaweningwang Apan uwus den wangeni Mring pandhita ing nguni Tan kena gingsir ing besuk Apan Maolana Ngali Jaman catur semune segara asat Mapan iku ing Jenggala Lawan iya ing Kediri Ing Singasari Ngurawan Patang ratu iku maksih Bubuhan ingsun kaki Mapan ta durung kaliru Negarane raharja Rahayu kang bumi-bumi Pan wus wenang anggempur kang dora cara Ing nalika satus warsa Rusake negara kaki Kang ratu patang negara Nuli salin alam malih Ingsun nora nduweni Nora kena milu-milu Pan ingsun wus pinisah Lan sedulur bapa kaki Wus ginaib prenahe panggonan ingwang Ana sajroning kekarah Ing tekene guru mami Kang nama raja pandhita Sultan Maolana Ngali Samsujen iku kaki Kawruhana ta ing mbesuk Saturun turunira Nuli ana jaman maning Anderpati arane Kalawisesa Apan sira linambangan Sumilir kang naga kentir Semune liman pepeka Pejajaran kang negari Ilang tingkahing becik Negara kramane suwung Miwah yudanegara Nora ana anglabeti Tan adil satus taun nuli sirna Awit perang padha kadang Dene pametune bumi Wong cilik pajeke emas Sawab ingsun den suguhi Marang si Ajar dhingin Kunir ta ingsun Nuli asalin jaman Majapahit kang nagari Iya iku Sang-a Prabu Brawijaya Jejuluke Sri Narendra Peparab Sang Rajapati Dewanata alam ira Ingaranan Anderpati Samana apan nenggih Lamine sedasa windu Pametuning nagara Wedale arupa picis Sawab ingsun den suguhi mring si Ajar Juwadah satakir iya Sima galak semu nenggih Curiga kethul kang lambang Sirna salin jaman maning Tanah Gelagah wangi Pan ing Demak kithanipun Kono ana agama Tetep ingkang amurwani Ajejuluk Diyati Kalawisaya Swidak gangsal taun sirna Pan jumeneng Ratu adil Para wali lan pandhita Sadaya pan samya asih Pametune wong cilik Ingkang katur marang Ratu Rupa picis lan uwang Sawab ingsun den suguhi Kembang mlathi mring ki Ajar gunung Padhang Kaselak kampuhe bedhah Kekesahan durung kongsi Iku lambange dyan sirna Nuli ana jaman maning Kalajangga kang nami Tanah Pajang kuthanipun Kukume telat Demak Tan tumurun marang siwi Tigang dasa enem taun nuli sirna Semune lambang Cangkrama Putung ingkang watang nenggih Wong ndesa pajege sandhang Picis ingsun den suguhi Iya kajar sauwit Marang si Ajar karuhun Nuli asalin jaman Ing Mataram kang nagari Kalasakti Prabu Anyakrakusumo Kinalulutan ing bala Kuwat prang ratune sugih Keringan ing nungsa Jawa Tur iku dadi gegenti Ajar lan para wali Ngulama lan para nujum Miwah para pandhita Kagelang dadi sawiji Ratu dibya ambeg adil paramarta Sudibya apari krama Alus sabaranging budi Wong cilik wadale reyal Sawab ingsun den suguhi Arupa bawang putih Mring ki Ajar iku mau Jejuluke negara Ratune ingkang miwiti Surakarta semune lintang sinipat Nuli kembang sempol tanpa Modin sreban lambang nenggih Panjenengan kaping papat Ratune ingkang mekasi Apan dipun lambangi Kalpa sru kanaka putung Satus taun pan sirna Wit mungsuh sekutuh sami Nuli ana nakoda dhateng merdagang Iya aneng tanah Jawa Angempek tanah sethithik Lawas-lawas tumut aprang Unggul sasolahe nenggih Kedhep neng tanah Jawi Wus ngalih jamanireku Maksih turun Mataram Jejuluke kang negari Nyakrawati kadhatone tanah Pajang Ratu abala bacingah Keringan ing nuswa Jawi Kang miwiti dadi raja Jejuluke Layon Keli Semu satriya brangti Iya nuli salin ratu Jejuluke sang nata Semune kenyo musoni Nora lawas nuli salin panjenengan Dene jejuluke nata Lung gadhung rara nglingkasi Nuli salin gajah meta Semune tengu lelaki Sewidak warsa nuli Ana dhawuhing bebendu Kelem negaranira Kuwur tataning negari Duk semana pametune wong ing ndesa Dhuwit anggris lawan uwang’ Sawab ingsun den suguhi Rupa getih mung sapitrah Nuli retu kang nagari Ilang barkating bumi Tatane Parentah rusuh Wong cilik kesrakatan Tumpa-tumpa kang bilahi Wus pinesthi nagri tan kena tinambak Bojode ingkang negara Narendra pisah lan abdi Prabupati sowang-sowang Samana nglaih nagari Jaman Kutila genti Kara murka ratunipun Semana linambangan Dene Maolana Ngali Panji loro semune Pajang Mataram Nakodha melu wasesa Kadhuk bandha sugih wani Sarjana sirep sadaya Wong cilik kawelas asih Mah omah bosah-basih Katrajang marga agung Panji loro dyan sirna Nuli Rara ngangsu sami Randha loro nututi pijer tetukar Tan kober paes sarira Sinjang kemben tan tinolih Lajengipun sinung lambang Dene Maolana Ngali Samsujen Sang-a Yogi Tekane jaman Kala Bendu Ing Semarang Tembayat Poma den samya ngrawuhi Sasmitane lambang kang kocap punika Dene pajege wong ndesa Akeh warninira sami Lawan pajeg mundhak-mundhak Yen panen datan maregi Wuwuh suda ing bumi Wong dursila saya ndarung Akeh dadi durjana Wong gedhe atine jail Mundhak taun mundhak bilahining praja Kukum lan yuda nagara Pan nora na kang nglabeti Salin-salin kang parentah Aretu patraping adil Kang bener-bener kontit Kang bandhol-nbandhol pan tulus Kang lurus- lurus rampas Setan mindha wahyu sami Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa Ilang kawiraningdyah Sawab ingsun den suguhi Mring ki Ajar Gunung Padhang Arupa endang sawiji Samana den etangi Jaman pitung atus Pitung puluh pan iya Wiwit prang tan na ngaberi Nuli ana lamate negara rengka Akeh ingkang gara-gara Udan salah mangasa prapti Akeh lindhu lan grahana Dalajate salin-salin Pepati tanpa aji Anutug ing jaman sewu Wolung atus ta iya Tanah Jawa pothar pathir Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna Dene besuk nuli ana Tekane kang Tunjung Putih Semune Pudhak kasungsang Bumi Mekah dennya lair Iku kang angratoni Jagad kabeh ingkang mengku Juluk Ratu Amisan Sirep musibating bumi Wong nakoda milu manjing ing samuwan Prabu tusing waliyulah Kadhatone pan kekalih Ing Mekah ingkang satunggal Tanah Jawi kang sawiji Prenahe iku kaki Perak lan gunung Perahu Sakulone tempuran Balane samya jrih sajagad Kono ana pangapura Ajeg kukum lawan adil Wong cilik pajege dinar Sawab ingsun den suguhi Iya kembang saruni Mring ki Ajar iku mau Ing nalika semana Mulya jenenging narpati Tur abagus eseme lir madu puspa Dhandhanggula Langkung arja jamaning narpati Nora nana pan ingkang nanggulang Wong desa iku wadale Kang duwe pajeg sewu Pan sinuda dening Narpati Mung metu satus dinar Mangkana winuwus Jamanira pan pinetang Apan sewu wolungatus anenggih Ratune nuli sirna Ilang tekan kadhatone sami Nuli rusak iya nungsa Jawi Nora karuwan tatane Pra nayaka sadarum Miwah manca negara sami Padha sowang-sowangan Mangkana winuwus Mangka Allahu Tangala Anjenengaken Sang Ratu Asmarakingkin Bagus maksih taruna Iku mulih jeneng Narpati Wadya punggawa sujud sadaya Tur padha rena prentahe Kadhatone winuwus Ing Kediri ingkang satunggil Kang siji tanah Ngarab Karta jamanipun Duk semana pan pinetang Apan sewu luwih sangang atus anenggih Negaranira rengka Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi Ratu Perangi anulya prapta Wadya tambuh wilangane Prawirane kalangkung Para ratu kalah ngajurit Tan ana kang nanggulang Tanah Jawa gempur Wus jumeneng tanah Jawa Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi Tetep neng tanah Jawa Enengana Sang Nateng Parenggi Prabu ing Rum ingkang ginupta Lagya siniwi wadyane Kya patih munggweng ngayun Angandika Sri Narapati “Heh patih ingsun myarsa Tanah Jawa iku Ing mangke ratune sirna Iya perang klawan Ratu Prenggi Tan ana kang nanggulangi Iku patih mengkata tumuli Anggawaa ta sabalanira Poma tundhungen den age Yen nora lunga iku Nora ingsun lilani mulih” Ki Patih sigra budhal Saha balanipun Ya ta prapta tanah Jawa Raja Prenggi tinundhung dening ki Patih Sirna sabalanira Nuli rena manahe wong cilik Nora ana kang budi sangsaya Sarwa murah tetukone Tulus ingkang tinandur Jamanira den jujuluki Gandrung-gandrung neng marga Andulu wong gelung Kekendon lukar kawratan Keris parung dolen tukokena nuli Campur bawur mring pasar Sampun tutug kalih ewu warsi Sunya ngegana tanpa tumingal Ya meh tekan dalajate Yen kiamat puniku Ja majuja tabatulihi Anuli larang udan Angin topan rawuh Tumangkeb sabumi alam Saking kidul wetan ingkang andhatengi Ambedhol ponang arga

Rabu, 19 Maret 2014

Sastra Jawa

//Sri Nata Dipeng ngrat Jawa / Jeng Sultan Agung Matawis / kang ngadhaton aneng Karta / ing jaman sakeh pra Mulki / ngrat Jawa Nyakrawati / Sabrang Pasisir syud / Amiril Muminina / Sayidina Panata Gami / kyatireng ngrat wus sineksen saking Ngarab// //Winenang among dirjeng ngrat / Jeng Sultan Agung Matawis / awit jaksuh tranging tingal / lir surya angkara wening / wikan pranateng gaib / sakarsanira Hyang Agung / agung parosanira / Jawa den ulet lan kadis / mardikeng ngrat mustikaning jagad// //Narendra moncol sasama / mrojol ing kerep tan wigih / pinarak ngideri jagad / tyasnya maruta jinaring mumpuni agal rempit / kridhaning ngrat wus kawengku / miguna ing aguna / wujud langgeng datan lali / rasa mulya tinrusken rasa panedya// //Kaluhuring kamulyan / ing Jawa Narendra luwih / linuwih pinrih katrekah / sakeh rinuruh ingkang sih / jumenengnya winarni / Slasa kaping sadasa / mangsane wuku Warigalit / Alip lambing Langkir kang windu Mangkara// //Taun Dal sangkalanira / marga saking tata aji / lamine kraton Narendra / tigang dasa catur warsi / surutira marengi / Jumwah Legi Sapar tengsu /  tanggal kaping dwi dasa / wuku Wukir lambing Langkir / mangsa juga anuju kang windu Tirta// //Taun Be sangkalanira / asta nem margining kang wit / Panjenenganireng Nata / kasusra ambara murti / pinandhita trus suci / mot ing kawisesan luhur / rinilan geng mangunah / linulutan gung maharsi / mestu puja sinukmarjeng gung rasika// //Angglenggahi surya candra / ambeg susanta ber budi / yangyang samodra lukita / adil ber para marta mrik / kasub tinengen bumi / walikal waliyul lahu / dibya gung wikareng ngrat / nguni prasapeng sawuri / mring sangunge pra wayah trahing Mataram// //Yekti tan ingaken darah / yen tan wignya tembang kawi / kang kawrat sandining sastra / akathah logating tulis / kang dhingin basa kawi / tata trepsileng pamuwus / tumrap ing niti praja / kasusilan trus ing ngelmi / lawan kawi kang tumrap sandining sastra// //Kayata caraka basa / dasa nama atanapi / babasan amengku rasa / rasa karep marang pamrih / myat tuduh kang mangka wit / kanga ran kawi puniku / basa kang mengku rasa / wi : lepasireng pamusthi / mungging sastra karem lepasing graita// //Tumrap  sandining puspita / karem lepasing semadi / ngesthi tableh ing pangeran / linang sukma sarira nir / tandya puspita jati / mila sagutrah Mataram / den putus olah raras / sasmita sandining kawi / jakti angger satriya mangolah sastra// //Den eta ingaran tembang / tembang kang tumameng gendhing / anut wileting wirama / manising swara dineling / kang tumrap yuda nagri / raras manising pamuwus / kandel tipising basa / non tuduh manangka kardi / nora kena ninggal rarasing suwara// //Dene kang tumrap ing sastra / renggan wiramaning gendhing / kinarya ngimpuni basa/ memanise den reksani / lamun bubrah kang gendhing / sastra ngalih rahsanipun / kang tumrap ing pradangga / swara rinaras ing rakmi / anrus kongas asmara langening akal// //Kalengkanireng swarendah / serancak pineta ngesthi / kesti wirajeng wirama / tuduh pamudyaning dasih /  sih puji kahananipun / tan lyang kang Murbeng Jagad / kang pinuji swara Aji / nyampleng ingkang gendhing / trus kahanan tunggal// //Pramila gendhing yen bubrah / gugur sembahe mring Widi / batal wisikaning salat tanpa gawe olah gendhing / den eta kang ngran gendhing / swara saking osik jati / mring Hyang Ingkang Masung sih / sih puji kahananipun / osik mulya wentaring cipta surasa// //Surasing ngiskining kajat / kajat baka ingkang kadim / pramila mangolah gendhing / sedene merdanggeng gendhing / de ana rebut manis / swara manis wileting rum / nyang nyamlengireng raras / swara nrus pinnresing ngesthi / lamun bunrah tan kamot pamujining dat// //Marma sagung trah Mataram / kinon wignya tembang kawi / jer wajib ugering gesang / ngawruhi titining ngelmi / kqang tumrap ing praja di / tembang kawi asalipun / tarlen titising sastra / nora nana kang liyan tuduh ing sastra// PUPUH II ASMARADANA //Geng branta mangusweng gendhing / satengah wong parengutan / kang ahli gendhing padudon / lawan wong kang ahli sastra / arebut kaluhuran / iku wong tuna ing ngelmu / tan ada gelem kasoran// //Sejatinya wong ngagesang / apa ingkang binasan / iku kang kinarya luhur / ……………………………. /  yekti kekandangan kibir / rebut luhuring kagunan / dadi luput sakarone// //Luhuring sastra lan gendhing / takokna kang pra ngulama / kang terus dalil kadise / kang ngarani luhur gendhingnya / pinet saking kakekat / ing ngakal witing tuwuh / ananing Hyang saking akal// //Witing osikireng jalmi / gendhing akal ing kang warna / myang swara gangsa  cengklinge / tan kahanan wujudira / muhung kayarseng karna / tumruning swara linuhung / kasampurnaning panunggal// //Mangreh nrus swareng dumadi / myang nyamlenging wirama / tuduh ing katunggalane / de sastra ingaran andap / reh kawengku ing akal / lan kawayang warganipun / sastra gumelaring jagad// //Tambuh kang yakin ing ngelmi / dene wong kang ahli sastra / ingaran luhur sastrane / layak yen mangsi lan kretas / pantes ngran luhur ing akal / ing sastra suraosipun / luhur sejatining sastra// //Padha lair pan wus kari / gamelan tan dadi tandha / kamot ing praja karyane / laying praboting Negara / lumintu prakareng kukum, sanadyanta kanthi akal// //Dudu akal wosing gendhing / akal lelungiting sastra / ngakali gendhing yektine / babaring sandining sastra / kanyataning aksara / sabab alip ingkang tuduh / mengku gaibul hupiyah// //Dat mutlak dipun arani / myang latakyun ingaranan / durung kahanan laire / maksih wang wung kewala/ iku jatining sastra / anane saestu tuduh / dupi alip wus kanyatan// //Katandhan ing roh ilapi / goning alam karajiah / iku wit ana akale / denya wit wruh ing dat mutlak / saking kono kang marga / iku kawruhana sagung / endi ingkang luhur andhap// //Dat lawan sipat upami / sayekti dhingin datira / dupi wus ana sipate / mula jamah kahanannya / awal lan akhirira / kang sipat tansah kawengku / marang dat sjatinira// //Rasa pangrasa upami / yekti dhingin rasa nira / pangrasa ing kahanane / kang cipta kalawan ripta / saestu dhingin cipta / cipta kang gendhing mangapus / kang nembah lang kang sinembah// //Yekti dhing kang pinuji / kahanane ingkang nembah / saking kodrating Hyang Manon / mapan kinarya lantaran / saestuning panembah / wiseseng Dat kang rahayu / amuji mring dhawakira// //Upamane wong nggarbini / rare aneng jro wetengan / yen during prapteng laire / during kababar akalnya / maksih gaib sadaya / tambuh estri tambuh jalu / tambuh pejah tambuh gesang// PUPUH III S A R K A R A //Sinarkara pangawikan gaib / nora liya mung Allah ingkang Sa / dupi lair sing gaibe / panggawe kang rahayu / rahayune pratameng urip / urip tekeng antaka / tangkeping ngaluhur / kaluhuraning kasidan / tan lyan uwit sarengat pranatan bumi / sastra gumelaring jagad// //Mungguh hakekat kawruh ingesthi / ngijen-ijen trusing kasampurnan / hakekat wus nunggalake / makripat trusing kalbu / jalma ingkang ngluhuraken gendhing / pangesthining jro tekad / cangkring tuwuh bendhung / tegese bapa lan anak / dhingin anak bapa ginawe ing siwi / mendah yen mangkonoa// //Sayektine jagad tan dumadi / sabab kadim kadhinginan anyar / kasungsang iku dadine / nadyan kang ngarani luhur / gendhing temah tan dadi bayi / pesthi tetep kewala / nangis ki kayatun / lawan lapal ya bubana / wujud olah amengku dusul ngalamin / tuhu gumelaring jagad// //Pratandhane wujuding Hyang Widi / tuduh kinen puji kang kinarya / sastra lip endi jatine / kadya gigiring punglu / tanpa cucuk tan ngarsa wuri / tan gatra tan satmata / tan arah gon dunung / nora akir nora awal / datan pestha aprak kadya anrambahi / nging wajib ananira// //De kakekat asalireng gendhing / wus kanyatan ngelmuning Pamngeran / mungging pangrasa tuduhe / angler raseng kemumu / kang pramana anersandhani / tuhu tunggal pinangka / kajaten satuhu / saworing rasa pangrasa / pilih kawruhanan inganakken yekti / awimbuh kawimbuhan// //Amemuji tan pegat pinuji / yen tan pegat pinuji / yen ta aja urip aneng dunya / tan mbuh yen luhur gendinge / reh tan ana winuwus / kayun maksih kauban langit / sinangga ing bantala / mijil saking banyu / dadine sawabing bapa / yekti tetep luhur sajatining alip / lawan jatining akal// //Upamine wong jalu lan estri / jroning resmi nikmati samya / pracihna iku jatinbe / tuhu-tuhuning kawruh / ing pawore anyar lan kadim / ya lawan sipatira / sastra gendhingipun / kang rasa lawan pangrasa / estri priya pawore kapurna ing ning / atetep tinetepan// //Mula jamah loro\loro tunggil / tunggal rasa raseng kiwisesan / nging lamun dadi tuwuhe / pan wajib priyanipun / dadi akal kapurba alip / lir warna jro paesan / ya upaminipun / kang ngilo jatining sastra / wewayangan gendhing sirnanireng cermin / manjing jatining sastra// //Lir kemandhang lan swara upami / kang kemandhang gendhing ngibaratnya / sastra upama swarane / angler kemandhang mbarung / wangsul marang swara umanjing / lir mina jro samudra / mina gendingipun / sastra upama hudaya / mina yekti anane saking jaladri / myang kauripanira// //Pejahing mina saking jaladri / jro sagara pasthi isi mina / tan kena pisah karone / malih ngibaratipun / lir niyaga anabuh gendhing / niyaga pama sastra / gendhing gendhingipun/ barang reh purba niyaga / de niyaga amanut purbaning gendhing / panjang yen winursita// PUPUH IV P A N G K U R //Kawuri pangesthining Hyang / tuduhira sastra kalawan gendhing / sokur yen wus sami rujuk / nadyan aksara Jawa / datan kari saking gendhing asalipun / gendhing wit purbaning kala / kadya kang wus kocap ngarsi// //Kadya sastra kalih dasa / wit pangestu tuduh kareping pujhi / puji asaling tumuwuh / merit sing akadiyat / ponang : ha na ca ra ka : pituduhipun : dene kang : da ta saw a la / kagentyan ingkang pinuji// //Wadat jati kang rinasan / ponang : pa dha jay a nya : / angyekteni / kang tuduh lan kang tinuduh / padha santosaniira / wahanane / wachadiyat pambilipun / dene kang ma gab a tha nga / wus kanyatan jatining sir// //Pratandhane Manikmaya / wus kanyatan kawruh arah sayekti / iku wus airing tuduh / Manikmaya antaya / kumpuling tyas alam arwah pambilipun / iku witing ana akal / akire Hyang Maha Manik// //Awal Hyang Manikmaya / gaibe tan kena winoring tulis / tan arah gon tanpa dunung / tan pesthi akir awal / manembahing manuksmeng rasa pandulu / tajem lir hudaya retna / trus wening datanpa tepi// //Iku telenging paningal / suerasane kang sastra kalih desi / lan merit sipat kahananing Dat / ponang akal during ana ananipun / kababaring gendhing akal / Manikmaya wus kang ngelmi// //Awiyar ripta pangrasa / Sang Nurcahya Nurasa wus kawuri / gumantyaning Sang Hyang Guru / nyata ngran caturbudya / winayeng Dat guru retuning tumuwuh / awale Hyang Manimaya / tumulya Kaneka Resei// //Sepuh minangka taruna / kang taruna minangka kang nyepuhi / pranyina cleaning kawruh / kahananing wisesa / pinresing Dat wus kanyata Sang Hyang Wisnu / winenang kamot nugraha / mangreh budyarjeng dumadi// //Dene watak nawasanga / wus kanyatan gumlaring bumi langit / iku kawruhanan agung / endi kang luhur andhap / upamane papan lawan tulisipun / kanyatahaning panembah / kalawan ingkang pinuji// //Papan moting kawisesan / Manikmaya purbane papan wening / tulise mangsi Hyang Guru / sastra upama papan / gending akal upama mangsi wus dhawuh / yen dhingina mangsinira / ngendi nggone tibeng tulis//  //Sayekti dhingin kang papan / kang anebut papan saking ing tulis / lan malih upamanipun / dhalang kalawan wayang / dhalang sastra wayang akal jatinipun / yekti dhingin dhalangira / kang murbeng sakehing ringgit// //Lir patine Resi Bisma / duk pinanah dening Wara Srikandhi / watgatanira tinundhung / mring panah Sang Arjuna / gendhing akal ngibarat Srikandhi kang hru / sastra ngibarat kang capa / Sang Parta  titising lungit// //Kayana Narendra Kresna / lawan Sang Hyang Batara Wisnumurti / iku ngibarat satuhu / karo-karone tunggal / tunggal rasa cipta urip pan wus campur / Sang Wisnu ngibarat sastra / Sri Kresna upama gendhing// //Horeg rug kambah barubah / lir Bathara Kalarsa badhog bumi / Sri Kresna datan kadulu / wus niring kamanungsan / kaprabawan wikramanira Hyang Wisnu / nanging datan saben dina / denyambeg wikrama werdi// //Yekti naggo kala masa / yen manggunga wikrama nora dadi / pasthi brastha tan kawuwus / tan ana ngarcapada / satemahe jagad palastha linebur / dening krodhaning Bathara / tan pedah gumlaring bumi// //Sang Wisnu nuksmeng Sro Lresna gung dumadi / mayu rahayu tumuwuh / anjaga jejeging ngrat / Prabu Kresna sapangreh nuksmeng ngaluhur / wasesa panciptanira / nyipta trus manuksmeng gaib// PUPUH V D U R M A //Durmaning kang ngluhuraken gendhing lan akal / pangesthinireng tokit / Hyang Wisnu lan Kresna / muhung Wisnu lan Kresna / muhung Wisnu Kewala / Sri Kresna datan kaliling / nadyan lebura / kang jagad tan marduliu// //Yen meksiya nyipta loro-loronira / yekti guguring ngesthi / temah tundha bema / araning Hyang Wisesa / sungsun-sungsun kalih-kalih / lan malihira / siyang kahanan yekti// //Wong lumaku wus prapteng gon kang sinedya / ndadak abali maning / temah moro cipta / tau renggeng gupita / tambuh kang yakining ngesthi /sajatinira / ujar den wolak-walik// //Awit dene asamar kahananing Hyang / remit sungil tan sipi / gaib tan wus kena / lamun kinaya ngapa / elok tan kena pinikir / wenanging tingkah / tan lyan harjeng ngesthi// //Esthiningtyas samya awas kawisikan / dene wong kang ngarani / luhur sastranira / tangeh lamun nyiptaa / sungsun-sungsun kalih-kalih / nora mangkana / pangesthinireng tokit// //Ana iku marganira saking ora / ora sing ana yekti / raseng ana ora / mantep Dating Wisesa / iku jatining sastra di / tan lawan-lawan / tan sungsun kalih-kalih// //Dene ingaran mableni mentahing lampah / iku mokal sayekti / tan mangkono lirnya / reh mesthinira ana / amot suksma glaring bumi / tinrus ing puja / mujarja dhiri wening// //Kawenangan manuhara aruming ngrat / trusing ngakal kalingling / nglanguting kalengkan / wali lungiting alam / ngenglenging ngalam / nglela anyar kalingling// //Marma ngelmu mulet patraping sarengat / maharjaning dumadi / dadya trus rumangsa / tinuduh trus utama / tumameng cipta pamuji / lamun meksiha / salah ciptaning ngesti// //Satemahe Sri Kresna pan during mulya / ingaran Harimurti / sarira Bathara / tan kewran salirira / kasumbaganing pamusthi / reh ngari loka / madyapada kalingling// //Pan wus dene pra nabi kang musna lena / tuwin kang para Wali / myang para Suhada / pra Iman kang minulya / kang rorijalla inganhi / kamg tuk nugraha / tan seda saben ari// //Yen sedaa pra Nabi salaminira / tan kocap aneng wuri / nadyan kang triloka / sayekti tan dumadya / dennya umangsah semedi / pan kala-kala / tebir lan aprang sabil// //Saben dina tan pegat racketing sukma / tan kewran denira mrih / pangesthining cipta / kaya lapal kang kocap / iya kayun pidareni / murading lapal / uriping desa kalih// //Desa lair desa batin wus kawangwang / sumbaganing musthi / harjaseng sucipta / trusing kayat wisesa / sarambut datan salisir / lan kawruhana / sagung kang rebut piker// //Eling ingkang samya ngudi nalar / away nganti nemahi / kerojoging tekad / tuduh ugering gesang / sayekti ambebayani / rungsiting gawat / watgateng trang ing urip// //Lawan aja asring padudon ing karsa / iku siriking ngelmi / yen during kaduga / luwung kendel kewala / nanging misilna tumuli / marang ngulama / myang para sujaneng ngelmi// //Salah siji jatining gendhing lan sastra / tuwa nome kang pundi / iku takokena / aywa was kaya-kaya / den trus lan saraking Nabi / dipun pracaya / nglakoni gama suci// //Titi tamat srat Sastrasandipradangga / kawrat esthining galih / puniku klimahnya / alime kang niyaga / wruh gangsa swara lan uning / myang aranira / gumlar sawiji-wiji

Selasa, 18 Maret 2014

Jagad KEJAWEN

Sampun kawiyak warananing jagad Datan maleh hawujud pralampita sakawit Datan saget kadunungaken ing budi pra kawulo Sabab handulu kahanan kamot ing sanepan Pramila kawedar soho kagunggung sampun Sadya kahanan dumadi kawiwitan padjajaran bumi Kasaput bramantyaning Sang hyang hanantobogo Mesu brata sampun badar ing pasepening pratapan Kadulu ing katebihan tindaknyo sang noto hanitih estitama Katemah taksih karsa sesinglon rupa hambawur kawulo Bumi loka taksih kebak ing waspa Tanah djawi kalimput ing prahara Lamun sadya piwulang luhur pra wasis datan kapidangetaken Ajaran suci pra wiku lan ulama datan kaprungu sampun Ujaring si gaplok sabdane pra wiku lan ulama Datan maleh kuwawa hambasuh budi candolo Ambeg angkoro datan saget kagondoli Duh, jagat kuwasaning Gusti Pra dasih kadya selo brakiti hamawur tetangisan Katyoso saget kaprungu ing monco Lumarap ing waspa hanyaput sadya tentreming manah pra dasih Ing wetan brang pernahe Lumarap tapel wates gelang lan kuriphan Bumi blumbangan bakale katrajang ing mayangkara Nusa kembini bakalan hanglangut ing sepi Rinakut dening agni soko yomani Pra taruna gyo rangkut tumandang Gugur gunung gyo sabiyantu Lamun welas adedasar asih tanpa pamrih Tumuju ing prasetyoning karahayoning bawono Pralampita kasebat sampun, tutuping warso gyo kinanti Gunggunging layon datan kapetung Wusana kinaryo tumbal gyo Hyang Batara Kala Sinengker sampun lakuning jagad kadulu Datan sadengah titah gyo purna mratelakaken kang dumugi Lamun datan titah pujangkara kasihing Gusti Mesti bakal katalumpen soho kasiku hamedar sasmitaning alam sunyaluri kasebat sastra jendra hayuningrat Lamun taksih karsa ing pepemut Lamun taksih eling ing pepeling Lamun taksih setyotuhu mring piwulanging werda suci Lamun taksih kadunungan cahyaning Gusti Mrih rahayu ing tindak dumugi Tansah emut sasmitaning kang simandi Tutup babagan hawa sanga mesu budi olah semedi Tansah manuwun pangayoman saking Gusti Tansah waspada mring lakuning tirta ubaling agni angkara Laju kiprahipun bayu bakale Gyo hamikut bebanten dumugi Wadya bala bregasakan gyo kembul bujana handra wina Handulu waspa soho panandaning pra kawulo Wong tua kang kecalan atmojo Kanoman podo  liwung kapengat dening asmara Rerantaning bocah kang katilar wong tuwo dadi kunarpo Eling den eling……. Gelar sepapan barisaning pra lampor hambrakut kidul pernahe Padjajaran bumi pinangko pambukaning pepemut Tutuping warso pinangka madyaning lampah nampi pacobi Lamun taksih kadunungan daya iman sejati bakale adoh ing bilahi Tapel wates gelang, kuriphan lumeret wetan bumi Blumbangan Jinangka Nusa Kembini bakale kapiran ing bilahi Bumi Klungkung manggih rahayu Kalis ing rubedo, kalis ing bebendu Wusananing oncating Sang kala, Katitik ing pucuking Sapta renggo Sang Nata gyo jumangkah, Nungkulaken kyai sidem kayom Pinayungan  songgsong tunggul naga, Kaderekaken sang Ismoyo Gyo luwar sadya panandhang, Oncat kapracondang pra wadya begasaan Gyo sumingkir podo tinggal glanggang Kasoran pamoring sang nata Bumi djawi rahayu kinanti ing dumugi Lamun katumbalan iklhas ing budi Gyo bali minturut dawuh Soho piwulang ing werda suci Sakawit sadya puniko Hamung kinaryo hangunduh wohing pakarti Tansah ngunjuk syukur mring Ilahi Saperlu rahayu awak mami Sabab tanpo rowang sanak kadang bakale ngrewangi Manowo taksih nandang pacobi Hamung Iman soho setyo ing janji Mring dawuhing guru sejati bakale bisa Wujudake manunggaling kawula Gusti Inggih puniko margi ingkang bakale nyentosani

Jagad KEJAWEN

Sampun kawiyak warananing jagad Datan maleh hawujud pralampita sakawit Datan saget kadunungaken ing budi pra kawulo Sabab handulu kahanan kamot ing sanepan Pramila kawedar soho kagunggung sampun Sadya kahanan dumadi kawiwitan padjajaran bumi Kasaput bramantyaning Sang hyang hanantobogo Mesu brata sampun badar ing pasepening pratapan Kadulu ing katebihan tindaknyo sang noto hanitih estitama Katemah taksih karsa sesinglon rupa hambawur kawulo Bumi loka taksih kebak ing waspa Tanah djawi kalimput ing prahara Lamun sadya piwulang luhur pra wasis datan kapidangetaken Ajaran suci pra wiku lan ulama datan kaprungu sampun Ujaring si gaplok sabdane pra wiku lan ulama Datan maleh kuwawa hambasuh budi candolo Ambeg angkoro datan saget kagondoli Duh, jagat kuwasaning Gusti Pra dasih kadya selo brakiti hamawur tetangisan Katyoso saget kaprungu ing monco Lumarap ing waspa hanyaput sadya tentreming manah pra dasih Ing wetan brang pernahe Lumarap tapel wates gelang lan kuriphan Bumi blumbangan bakale katrajang ing mayangkara Nusa kembini bakalan hanglangut ing sepi Rinakut dening agni soko yomani Pra taruna gyo rangkut tumandang Gugur gunung gyo sabiyantu Lamun welas adedasar asih tanpa pamrih Tumuju ing prasetyoning karahayoning bawono Pralampita kasebat sampun, tutuping warso gyo kinanti Gunggunging layon datan kapetung Wusana kinaryo tumbal gyo Hyang Batara Kala Sinengker sampun lakuning jagad kadulu Datan sadengah titah gyo purna mratelakaken kang dumugi Lamun datan titah pujangkara kasihing Gusti Mesti bakal katalumpen soho kasiku hamedar sasmitaning alam sunyaluri kasebat sastra jendra hayuningrat Lamun taksih karsa ing pepemut Lamun taksih eling ing pepeling Lamun taksih setyotuhu mring piwulanging werda suci Lamun taksih kadunungan cahyaning Gusti Mrih rahayu ing tindak dumugi Tansah emut sasmitaning kang simandi Tutup babagan hawa sanga mesu budi olah semedi Tansah manuwun pangayoman saking Gusti Tansah waspada mring lakuning tirta ubaling agni angkara Laju kiprahipun bayu bakale Gyo hamikut bebanten dumugi Wadya bala bregasakan gyo kembul bujana handra wina Handulu waspa soho panandaning pra kawulo Wong tua kang kecalan atmojo Kanoman podo  liwung kapengat dening asmara Rerantaning bocah kang katilar wong tuwo dadi kunarpo Eling den eling……. Gelar sepapan barisaning pra lampor hambrakut kidul pernahe Padjajaran bumi pinangko pambukaning pepemut Tutuping warso pinangka madyaning lampah nampi pacobi Lamun taksih kadunungan daya iman sejati bakale adoh ing bilahi Tapel wates gelang, kuriphan lumeret wetan bumi Blumbangan Jinangka Nusa Kembini bakale kapiran ing bilahi Bumi Klungkung manggih rahayu Kalis ing rubedo, kalis ing bebendu Wusananing oncating Sang kala, Katitik ing pucuking Sapta renggo Sang Nata gyo jumangkah, Nungkulaken kyai sidem kayom Pinayungan  songgsong tunggul naga, Kaderekaken sang Ismoyo Gyo luwar sadya panandhang, Oncat kapracondang pra wadya begasaan Gyo sumingkir podo tinggal glanggang Kasoran pamoring sang nata Bumi djawi rahayu kinanti ing dumugi Lamun katumbalan iklhas ing budi Gyo bali minturut dawuh Soho piwulang ing werda suci Sakawit sadya puniko Hamung kinaryo hangunduh wohing pakarti Tansah ngunjuk syukur mring Ilahi Saperlu rahayu awak mami Sabab tanpo rowang sanak kadang bakale ngrewangi Manowo taksih nandang pacobi Hamung Iman soho setyo ing janji Mring dawuhing guru sejati bakale bisa Wujudake manunggaling kawula Gusti Inggih puniko margi ingkang bakale nyentosani

Senin, 10 Maret 2014

Naskah jowo kuno

Ki Ageng Kartikasastra duk anggrungu, ing atur gugatereki, Candranala tyasnya ngungun, dene nganggo saksi dhemit, nulya angandika alon. Mangkono dhingin, manira tanya sireku, kalairanira ngendi, lan pira umurrireku, Candranala awotsari, kalairan kula dhukoh. Ing kuripan punika nggening laluhur, umur kula seket kalih, taun lumampah punika, Mas Ngabehi ngandika ris, dhateh carikira gupoh. Ature Candranala kabeh iku, ugerana kang salesih. Carik sandika turipun, sigra denira ngugeri, Ki Ageng malih takon. Sabab apa sira wong tik-melikipun, ing Kahuripan teka dadi, ana dhukuh Karangtalun, lan apa karyanireki, panggautanmu kang manggon. Aturira Candranala : Mila ulun, ngalih purwnipun ngarsi, sangajaling tiyang sepuh, sedherek kula nggentosi, bapa, kula mencar dhukuh. Dhateng wana sukuning Semeru gunung, lami-lami kathah janmi, ingkang tumut griya ngriku, kula kaangkat patinggi, lestantun saengga mangko. Dene ikang dados panggesangan ulun, duk lare saengga mangkin, amung tani karya ulun, ngolak-alik tegil sabin, manem sakalir tumuwoh. Ki Ageng Kartikasastra tanya arum, Nalikane sira ngalih, marang dhukuh Karangtalun, anggawa apa sireki, tuturna ing ngarsaningong. Candranala sanalika manahipun, kalimput gugatireki, prasaja ing aturipun, Nalikane kula ngalih, dateng Karangtalun dhukoh. Mbekto kebo kalih rakit kathahipun, asarta kawan amit pari, wijiwiji saliripun, kang badhe ngregengken dhukoh. Saha barang pangangge samurwatipun, tiyang alit jalu estri, sakadare tiyang dhusun. Ki Ageng tanya malih, Pira lawasmu neng dhukoh. Sarta apa barang ingkang kowe tuku. Candranala atur aris, sampun kalih dasa taun, ingkang kula tumbas naming, lembu akaliyan kebo. Ngslih rskit, snjswi saking punika, dhuwung sakandelaneki, jene kalih sangkangipun, tiyang estri kalih rakit, anjawi sangking panganggo. Bangsa suwek pangangge tiyang dhusun, kang perlu kewala naming, mung punika atur ulun. Ki Ageng ngandika ris, yen mangkono sira goroh. Gonmu ngaku raja brana agung, ko-pendhem aneng wana dri, ing ngendi pinangkanipun, apa ta olehmu maling, nuli den malingi uwong?. Candranala bias gumeter tyasipun, naratpira upami, tinebak ing sima luput, dangu datan bisa angling, wusana umatur alon. Mila wau barang tan kalebet ngatur, margi kang tuan pirsani barang tetumbasan ulun, priyangga sadayaneki, wangsul kang ical sayektos. Titilaripun tiyang sepih-sepuh, bapa tilaraning kaki, kaki tilaraning buyut, dede kak kula pribadi, atur kawula tan liyok. Ki Ageng Kartasastra awas ndulu, ing ulat liringireki, Candranala jroning kalbu, neng solah amertandhani, katara ujare linyok. Lamun janma wicaksana pasthi, ulat liringireng jalmi, miwah solah-tingkahipun, iku kabayaing ati, yen mukir kacora lodhoh. Kartikasastrawicaksana ngulah semu, sigra atetanya malih, nggoning randhu alas iku, watarane adoh endi, sangka padhukuhan karo. Lan benere melu ngendhi randhu iku, apa melu Karangsari, apa melu Karangtalun, apa tugu wates bumu, lan dhisik endi kang dhukoh. Karangsari kalawan Karangtalun, lan papa watesireki, nggone babad karya dhukuh. Candranala awotsari, Bilih nggenipun dhedukoh. Kula ingkang kantun elet kalih tahun, nggening randhu radi tebih, sangking dhekah Karangtalun, elet igir punthuk ardi. Ki Ageng ngandhika lon. Lah ta apa mulane sira aweruh, marang dhemit kang ngenggoni, witing randhu alas iku, Candranala matur aris, duk kawula badhe dhukoh. Dhateng Karangtalun kula nepi ngriku, samanten kula kawangsit, kinen nyiyosaken dhukuh, sarta ngaken mitra yekti, makaten purwaning kang wong. Ki Ageng Kartikasastra aris muwus,, Sakehing aturireki, uwis oadha ingsun rungu, sarta wis manira pikir, muliha bae samangko. Dina Soma Manis teka ing ngarsengsun, gawanen saksunereki, supaya gelisa rampung, lamun saksi ora prapti, yekti prakara tan dados. Nalwasa alon denira umatur, Kawula nuwun Ki Ageng, bab saksi pisowanipun, dhateng ngarsa tuwan ngriki, kawula bekta sagoh. Sabab saksi lelembut ing kajeng randhu, panuwun kawula mugi, wontwna pamengkunipun, parentang ageng pulisi, kawula narimah kawon. Ki Ageng kendel dangu datan muwus, mangkana osiking galih, elok temen wong puniku, kang dadi aturireki, taka datan nduga ingong. Dene ana kayu randhu bisa muwus, nulya angandika aris, Ya wis angandhika aris, Ya wis muliha karuhun, kaliyan gya mundur gupoh. Ki Ageng Kartikasastra mrentah gupuh, langsir kinen animbali, patingginira ing dhukuh, Karangsari ingkang nami, Ki Suryanala den gupoh. Lurah langsir sigra lengger saking ngayun, datan kawarna ing margi, wus prapta aneng ing dhukuh, Karangsari gyanireki, Suryanala langsir takon. Lah ing ngendi wismane patingginipun? Pinuju kang den takoni, Suryanala matur, inggih ngrikiwismaneki. Lurah langsir malih takon. Apa nana ing wisma Nalasatyeku. Kang tinakon anauri, Suryanala inggih ulun, andika kula aturi, sumangga sami alunggoh. Dhateng griya. Lurah langsir gya tumurun, saking kuda nulya manjing, dhateng wisma tata lungguh, mungging salu tiyang kalih, agenti takon-tinakon. Wusnya bage-binage sakalihipun, Suryanala tanya aris, Nah angger, sinten pukulun, saha priyantun ing pundi, ing lampah punapa gatos?. Lurah langsir mangsuli tembungny arum, Kakang, kula lurah langsir, lampah kawula ingutus, dhateng panewu pulisi, Kartikasastra ingkang kongkon. Animbali jengandika dhawahipun, kadherekna lampah mami, Suryanala sareng ngrungu, ngadikaning lurah ndhradhog. Ulat payus karinget kadya wong adus, sesambatira dermili, Allah tobat bapa biyung, kaki nini buyut mami, padha jangkungen ragengong. Wusnya sambat Suryanala nangis matur, Mas kula den timbali, wonten punapa mas bagus, mugi andika jateni, Lurah langsir muwus alon. Milan ndika katimbalan prentah agung, andika kadakwa maling, Candranala lurah dhukuh, Karangtalun: enceh, isi raja brana sarwa kaot. Dipun petak tegil, caket kajeng randhu, Suryanala duk miyarsi, atebah dhadha angadhuh, Kaniaya mitra mami, dene ka dadi mangkono. Apa baya kang tinemu akiripun, wong gawe kiyanat maring, pawong mitra kang rahayu. Lurah lingsir amiyarsi, dahat ngre welas ing batos. Langir tanya : Kadipundi temenipun? Suryanala gya nuturi, Duk aitira anemu, enceh teka ilang neki, kadya kang sampun kacriyos. Langsir muwus : Yen makoten sulangipun, andika ampun kuwatir, mangke kula kang tatulung, matur dhateng Ki Ageng andika lamun tinakon. Ing parentah dika matur kadi wau, layane parentah nggalih. Suryanala; Matur nuwun, sumangga kula umiring. Sigra pangkat sakaroron. Tan kawarna lampahira aneng ngenu, prapta ngarsane Ki Ageng, lurah langsir sigra matur, miwiti mawah mekasi, wus katur ingkang lelakon. Ki Ageng Kartikasastra duk angrungu, aturane lurah langsir, kacathet sajroning kalbu, cocog suraosing galih, nuli angandika alon. Suryanala ing ngendi klairanmu, lan pira umurireki, sira matura kang tuhu, carik kinon angugeri, Suryanala matur alon. Lair kula wonten Jatiraga dhusun, umur kawula tan uning, rehning abdi dalem dhusun, manawi nggadahi siwi, datan mawi manah weton. Ki Ageng ngandika: Bener aturmu sun watara sira lagi, umurriraseket tahun. Suryanala atur neki, Mbok menawi inggih yektos. Ki Ageng ndangu: Apa purwanipun, sira omah Karangsari, Suryanala umatur, Sareng kula sampun rabi, lajeng misah adhedhukoh. Lami-lami kathah tiang sami tumut, griya monten Karangsari, kawula lajeng kajunjung, kadadosaken patinggi, lamine nggenipun dados. Padhekahan sampun kalihlikur tahun. Ki Ageng tanya aris, Dhisik endi nggone dhukuh, Candranala lan sireki? Nalastya matur alon. Awitipun dhedhekahan rumiyin ulun. Ki Ageng tanya malih, apa sing dadi karyamu, panggota luru asil, Suryanala matur alon. Panggota kawula sangkaning timur, dalah samangke mung tani nanem kapas jarak pantun, ngolak-alik tegil sabin. Ki Ageng aris takon. Nalikane sira ngalih marang dhukuh, anggawa apa sireki, sarta salawasireku, aneng dhukuh Karangsari, apa sira tuku mangko? Suryanala alon denira umatur, Bebektan kula duk ngalih, dhateng dhekah amung lembu, kali rakit sarta pari, kali caeng miwah kebo. Kali iji sarta wiji-wiji agung, dene salaminereki, kula wonten dhukuh ngriku, ingkang kula tumbas aming, waos dhuwung pedhang golok. Ki Ageng Kartikasastra ngandika rum, Sira manira takoni, tutura sebeneripun, apa nyata sira ngambil, enceh isi barang kaot. Kang kapendhem aneng soring kayu randhu, kang ko-bukak anyar iki? Suryanala aturipun, miwiti malah mekasi, kaurut saking duk panggoh. Purwanipun kawula tugar pukulun, amiyaraken kang tegil, lajeng ananggori watu, watawis geng saklenthing, sela lajeng kawula gol. Ngandhap watu garowong wonten kadulu, enceh katutup tembagi, kawula ajrih andumuk, margi boten mawi saksi, mbok ing pungkur manggih ewoh. P A N G K U R Kawula lajeng kewala, kesah dhateng Karangtalun sung uning, dhateng pawong mitra ulun, pun kakang Candranala, neksenana wau anggen kula nemu, kakang Candranala nulya, atumut dhumateng tegil. Sapraptaning gen pendheman, ponang sela lajeng kula junjung, ketinggal encehira, gya kapendhet enceh saking enggenipun, tutup tembaga binuka, isi bra warna-warni. Candranala lajeng nabda, aken nyindhem sampun ngaturi uning, dhumateng parentah agung, sabab catur prakara, kagungane Gusti Kanjeng Sang Aprabu, bumi-kagungan Nata, kang mangkurat, mangka sira iku nemu, dunya kapendhem jro kisma, kapindho aneng wana dri. Pasthi, kapundhut nagara, dika kula tanpa tuwas ing kardi, semune barana niku, paringe Kang Kawasa, teng si adhi kalih kula tetepipun, pami kalong dhateng janma, ing sanesipun mubadir. Punika rembag kawula, adhi sampun baripin dhateng janmi, sanadyan sanak sadulur, sampun sinungan pirsa, mbok manawi dados panjang wartosipun, sae kasidhem kewala, mangke dalu den wangsuli. Pami kapendhet samangkya, estu tangga sami uning, sami dhateng nedhamujur, boten wande kawentar, kula kalih pun adhi kepanggih luput, lah mangke dalu kewala, sirep janama den purugi. Dene kang jogi rumeksa, icalipun ing sadinten puniki, kula titipne puniku, dhumateng mitra kula, dhemit ingkang manggen wonten kajeng randhu, kawula nurut kewala, Candranala lajeng angling. Dhateng kajeng randhu wana, aku titip pendheman enceh iki, sapa-sapa ingkang jukuk, liyane Nalatsya, talikunge aja lunga sing gon iku, pacuhan lah poma-poma, sasampunira atitip. Tumunten ngajak bibabaran, kula inggih mituhu lajeng mulih, kilap ing sapengker ulun, dalune sidhem janma, candranala dhateng ing wisma ulun, celuk-celuk saking jaba, kula kaejak murugi. Kawula nderek kewala, sapratone wonten pangenan gipih, kula ingkang kinen jukuk ambukak tutup sela, ri sampuning tutup sela kula junjung, enceh sampun datan ana, kawula enggal nanjangi. Dhateng kakang Candranala, icalipun enceh pun kakang mbekis, serta cantenipun sendhu, kula kinen mangsuha, kula sumpah kathah-kathah tan karungu, dupeh sampun amitungkas, dhateng mitrane dhedhemit. Mangkana cantenanira, sinten malih lamun dede si adhi, jer kula empun sung pemut, kang tunggu randhu wana, yen kajukuk ing janma na liyanipun, saking adhi Nalayatsa, kasrimpunya dipun aglis. Kula lajeng aken tanya, dhateng ingkang dipun titipi ngarsi, kadi pundhi sanjangipun, kula ajeng amiregna, Candranala lajeng ngadeg kalih nepsu, kula inggih lajeng mulih. Mung punika atur kula, temen-temen medal ing manah suci, Wingnyasastra tanya arum, Kalane Candranala, nitipake marang dhemit kayu randhu, kapriye wangsulanira? Nalayatsa matur aris. Saking pamireng kawula, Candranala amung canten pribadi, kajeng randhu tan samaur, Ngabehi Wingnyasastra, angandika: Kowe prasamu, apa ta hiya pracaya, ing dhemit kang den titipi? Nalasatnya aturira, rehning kula ceguk balilu, inggih, mung nurut pratikelipun, pun kakang Candranala, dene sampun asumpah, ngaken sadulur, jaler ing dunya ngakerat, mila kula tan ntigeni. Upami wonten kang seja, gadhah, wonten ngawani salah siji, sinten kang wiwit karuhan, saentu manggih papa, mung punika pitadosing manah, ulun, kodos boten kekilapan, Gusti ingkang Maha Suci. Ki Ageng Wingnyasastra, sadangune miyarsa atur neki, Nalayatsa rosipun, ginalih kaya nyata, aturane si Nalayatsa kang tuhu, dadya alon angandika, Sireku keneng prakawis. Ginugat laku dursila, iku mesthi kalebu aneng bumi, sinadyan ora satuhu, hiya aneng kunjara, nanging sira sun alingi ingong tanggung, sira eres kewala, aja lunga sing pandhani. Nalastya tur sandhika, tan gumingsir kawula prapteng pati. Kasigeg ganti kawuwus, Kocapa Candranala, pan geneman kalih Naladhusta sampun, kait badhe parentah pulisi. Ing ari Soma Manisnya, wus ginendhing bab lampahira sandi, duk prapta ubayanipun, ing dina Soma mangkat: kacarita Ngabehi Wingnyasasteku, ing ora soma sineba, sakathahing pulisi. Rangga, demang munggang ngarsa, saben ari repotan ari repotan kinardi, nglapuraken bawahipun, sakawontenanira, ing prakara miwah ingkang sampun rampung, katungka ing praptanira, Nalawarsa munggeng ngarsi. Ki Ageng Wingnyasastra, angandika: Candranala sireku, anggugat marang mitrau, hiya si Suryanala, mengko uwis teka aneng ngarsa ningsun, prakara manira pirsa, ature cetha patitis. Enceh iku dudu sira, kang ndarbeni; temene nggone manggih, aneng tunggananira, Nalayatsa nuli tutu ing sireku, sira kinen neksenana nuli sing anuturi. Akeh-akeh tutoring, akon nyidhen aja katur nagari, serta aja nganti weruh , marang wong tangga desa, Nalyatsa nurut marang saujarmu, sira mitraniradhemit. Candranala aturrira, Sampun limpah tiyang dursila mungkir, ngalangi badanira, lamun ngaken manggih, sinten saksinipun, saestu gadhandhan kula,wonten kang kula kang titipi. Sareng ical inggih pirsa, ingkang medhet enceh isi retna di, asanjeng dhumateng ulun, kang mendhet mitra kula, Nalayatsa lurah patinggi ing dukuh, Karangsari milanira, tan purun ngaruh-aruhi. Ki Ageng Wingnyasastra, aris tanya : Saksimu dhemit iki, apa bangsane puniku, kaya pan rupaniro, lon kapriye basane lamun celathu, lan apa gelem caturan, kalawan samiyah janmi? Candranala aturira, Bangsanipun kawula dantan udani, sarta tan katinggal wujud, amung gremeng kewala, cantenipun inggih kadya manungseku, atemen sawiraosnya. Ki Ageng ngandika ris. Yen mangkono aturira, bab gugatmu ingsun tan wani mutusi, kudu katur prentah agung, pengadilan nagara, sebab aneh prakaranira puniku, siki sira sun gawa, lan si Nalayatsa ugi. Ma Ngabehi Kartikasastra, gya siyaga badhe sowan nagari, Ingkang nderek langsir catur, sami wahana kuda, Candranala Suryanala aneng pungkur, lampahnya datan kawarna, sapratanireng nagari. Anjujug wadonanira, ingkung wasta Rahadyan Ngabehi, Darmawidya pinunjul, putus saliring sastra, wicaksana rahayu pambekanipun, keringan ing parang muka, kancanira ajrih asih. Dyan Behi Darmawidya, Senen Kemis sineba neng pandhapi, repotan para penewu, Rangga Pulisi Demang, sami lapur punapa sawontenipun, gedhuhanira priyangga, ing prakawis alit. Ki Ageng Wingnyasastyra, prapteng Jawi regol tumurun saking, turangga lajeng adhawuh, dhateng langsir nenggaa, candranala Nalyatsa aneng pintu, mengko yen pra timbalan, kaladekna ganti ganti. Sawusnyadhawah mangkono, Ki Ageng sigra manjing pribadi, aminggah pandhapi agung, alenggah mungging ngarsa, ngaturaken serat gugat jawabipun, papirsan miwah ugeran, raden Ngabehi nampeni. Binuka sinuksmeng driya, gugat-jawab miwah ngeraneki, wus kacathet jroning kalbu, serta sampun pratela, galitane ing prakara wus kacukup, tansah ginagas ing driya, ngunandika jroning galih. Agawat iki prakara, layak Kakang Kartiksastra tan bangkit, labete saking pakewuh, nangging panduganingwang, ana nana bisa celethu, pawong mitralan manungsa, iku kamokalan yekti. Wusnya kadriya mangkana, sigra ndangu7 wau dateng Ki Ageng, Kartikasastra tembungnya rum, “Kakang gugat punika, kaubegna dhateng prikanca penewu, utawi Rangga sadaya, kadi pundi bobot neki?” Ki Ageng Kartikasastra, gugat jawab saprabotira sami, sinungken para panemu, kapirsa gantya-gantya, wusnya rata sagung kang para panemu, Ki Ageng atanya, “Pripun kanca nggone mikir?” Penemu rangga aturnya, dadya tiga diyon kencengnya sami, kang saduman aturipun, leren pun Suryanala, awit saking nalika titip puniku, Suryanala tan miyarsa, wujud sarta swaraneki. Kalih udanagarinya, sanget elok atur gugatereki, tebih saking dhukuhipun, kang saduman aturnya, Suryanala sampun tetap kawonipun, sebab sampun karebahan, saksi gandarwo dhedhemit. Kang Saduman aturira, Yen Kawula prakawis boten dadi sebab sanget mokalipun, Suryanala kainan, dene boten enggal genira umatur, dhateng lurah pulisinya, kendel Raha Ki Ageng. Andangu datan ngandika, nulya ndangu dhumateng Ki Ageng, Kartikasastra manis arum, Wangsul pun kakang Wignyo, kadi pundi pamikire kang satuhu, bab saksi dipun budia, dadi lan botenireki. Prakara punika gawat, salamine kula dereng miyarsi, prakara kadi puniku, sarta ing jaman kuna, dereng enten kang kacitra lir puniku, lan malih angger sadaya, boten wonten ingkang muni. Kang kadi udur punika, napa dene ing kitab topah sepi, bab dakwa kadi puniku, ewuh pamutusira, mring sangka punapa krampunganipun, lah sagung panewu rangga, sami jengandika budi. Katrapaken saking punapa, krampungane prakara kadi pundi?, Ki Ageng aris matur, leres dawuh paduka, nyala wados prakawis punika estu, kawula boten anduga, yen sangking dugi prayogi. Kados leres aturira, Suryanala: enceh punika manggih tiyang kina darbekipun, wangsul pun Nalawangsa, ngaken titip dhateng dhemit kajeng randhu, nalika pametakira punika emeng ing galih. Upami kang mbau reksa, randhu kenging dipun takeni, cetha genah aturipun, inggih pun Suryanala, kukum kawon pami dhemit dipun dangu, tan saged umatur cetha, Candranala kukum maling. Pramila manah kawula, gadhah raos makaten enget saking, cantenipun tiyang sepuh, bilih manungsa ekas, ugi saget pawong mitra lan lelembut, sapocapan kadi janma, anaming datan kaeksi. Sha temen sanjangira, bilih wonten tiyang badhe angawoni, dhateng pawong mitranipun, lajeng suka waninga, bilih badhe pun awon sanesipun, kapurih ingkang prayitna, makaten damelireki. Ki Ageng ngadika, Penemune si kakang niku inggih, kadi enten emperipun, lamun kapirit sangka, ujaring wong bangsa kula jawi niku, sing empun kelakon padha, anggugu ujar tan yekti. Akeh kang nggugu suwara, ujar jare padha den anggep yekti weneh nyembah kayu watu, kewan iwak loh ula, den bekteni kapundhi pundhi satuhu, ture paring sandhang pangan, wenenh apek setan gondhid. Sowiyoh nyobat thetheken, ilu ilu gandarwa banas pati, ana ingkang nyembah bulus, kodhok kadhal lan ulo iku padha dinalih bisa weh luhur, lan bisa weh rajabrana, asung wangsit maripeni. Kasuhurake ing janma, nuli padha kalayu milu ngambil, sangking gugon tuhonipun, sing dadi pikir kula, niku dhemit ingkang bau reksa, randhu kula gawe tandha nyata, wong anom padha mirsani. S I N O M Ki Ageng ngadika, kalamun kula pribadi, kudu tan ngandel kewala, dhateng bangsaning dhedhemit, amarga kula pikir, bangsaning lelembut niku, saingga buron toya, sarta buron ing wanadri, sabangsane kutu-kutu walang taga. Sebab kula dereng pirsa, wujude bangsa dhedhemit, sarta dhereng sapocapan, ewa dene kang udani, napa empun udani, wujude ingkang lelembut, lamun sampun uninga, kadi punapa kang warni? Ki Ageng gumujeng aris aturnya. Kula inggih dereng pirsa, pribadi warnaning dhemit, saha dereng apocapan, bilih wilujeng puniki, badhe pirsa utawi, mirengaken cantenipun, benjing bilih kawula, paduka utus mirsani, saksi ingkang manggen wonten randhu wana. Ki Ageng Darmawidya, gumujeng ngandika aris, Benjang sami kapiyarsa, dhateng sagunging pulisi, camten kados pundi, lan punapa wujudipun, lah kakang Kartikasastra, samangke dika teng goning kayu randhu, benjang ing ari Soma, andangu dhumateng saksi, Candranala Suryanala umiringa. Andika parentah karya, pakuwon aneng ing tegil, goning pendheman kang murca, sarta dika sendhiyani, kayu obong kang garing, kasingitna enggonipun, Sagung panewu rangga, demang dhatenga kang enjing, dina Soma ngumpul aneng pasanggrahan. Ki Ageng Kartikasastra, matur sandika gya mijil, sapraptaning paregolan, sigra angandika ris, Candranala sireki, lan Suryanala sireku, dhawahe Dyan Wadana, sira padha kares kalih, Suryanala kares aneng ing pandhapa. Aja sira lunga-lunga, dene si Nalawaseki, kares ing Ki Ageng, dina Soma nindaki, andangu marang saksimu, kang manggon ngrandhu wana, sireku kinen umiring. Suryanala tur sandika. Naladhustha duk miyarsi, andikanira ki Ageng, atas pamiyarsanira, ing dina Senen mirsani, saksi dhateng wana dri, Naladhustha angles mundur, gancangan lampahira, badhe malebeng piranti, tan kawarna solahira Naladhustha. Ki Ageng Kartikasastra, sawusira marentahi, Candranala kondur sigra, gancangan lampahireki, datan kawarneng margi, sapraptaning dalemipun, nulya karya nawala, parentah sagung pulisi, kinon karya pakuwon kareka pura. Aneng patalunanira, Suryanala saha malih, para pulisi ngumpula, Dina Soima ingkang enjing, lan sagunging pulisi, padha anggawa kayu, kumpulna aneng wana, kang dhelik tan pati tebih, sangka goning kayu randhu wana. Wusnya srat parentah dadya, kasebar dhateng pulisi, tan kawarna solahira, para pulisi wus kardi, pakuwon langkung asri, mawi regol bale mangu, pandhapa sri krengga, kinubeng pondhok pulisi, amiranti sagungnya panewu rangga. Sapraptaning ari Soma, pepak sagunging pulisi, aneng tegal wewangunan, kathah jalma, aningali, jali estri anggili, sangking kanan kering dhusun, miwah tiysng wadeyan, langkung kathah warni-warni, kawuwusa rawuh nya Raden Wadana. Pinethuk panewu rangga, oreg sagungireng janmi, jalu estri suka miyat, rawuhnya Raden Ngabehi, tedak saking turanggi, malebet pandhapi agung, gya lenggah madyanira, pandhapi pura pulisi, rangga demang panewu aglar ing ngarsa. Dyan Behi Darmawidya, tatanya dhateng Ki Ageng Kartikasastra : Lah punapa, pepak sedaya pulisi? Ki Ageng matur aris, Sadaya pulisi sampun, sami sowan sadaya, satunggil tan wonten pamit, lon ngandika Ki Ageng Darmawidya. Lah kakang andika pirsa, pun Candranala mitreki, kang dadya saksi punapa, sampun kenging den takoni, sandika Ki Ageng, Kartikasastra sigra ndangu, heh sira Nawlawasa, mitramu kang dadi saksi, apa wis kena lamun kapariksa? Candranala aturira, sumangga tuwan pirsani, mangke bilih tan pirsani, mangke bilih tan matura, kawula ingkang ndorani, dhateng parentah nagari, sakarsanipun angukum. Ngabehi Kartikasatra, nulya matur Ki Ageng, kula sampun paduka utus mariksa. Dhumateng pun Candranala, sumangga aturireki, mangke bilih kapariksa, mitranipun tan nauri, Candranala kadugi, nyanggemi ukumanipun. Raden Lurah ngandika, Lah inggih kakang Ngabehi, ndika pirsa mitrane pun Candranala. Sakanca panewu rangga, mirenga aturi saksi, kula neng wuri kewala, mirengake saking tebih, sandika Ki Ageng, sigra lengser saking ngayun, miwah panewu rangga, demamng panatus umiring, angubengi witing kayu randhu wana. Miwah sagungireng janma, kang ningali jalu estri, angubengi randhu wana, saengga wong adu tandhing, kumacelu miyarsi, wicantenireng lelembut, Nagbehi Kartikasastra, aris denira nakoni, Heh mitrane Candranala : randhu wana. Sira kadangu nagara, matura ingkang sayekti, enceh isi raja brana, kapendhem neng kene iki, sapa ingkang ndarbeni, lan samangko enceh mau, aneng ngendi nggonira, lamun kaalap ing jalmi, sap ingkang ngalap sira pajarena. Kang mindha setan nyuwara, cumengkling swara cilik, ginawe kadi wanita, mangkana denya nauri, Enceh duwekireki, si Candranala mitraku, titip marang manira, samengko kaambil maring, Suryanala mitrane Ki Candranala. Kaget sagung kang miyarsa, panewu rangga pulisi, miwah agungureng janma, atas denira miyarsi , wangsulanireng dhemit, asanget denira ngungun, dangu tan ngunandika, Candranala asru angling, Lah mungkira sira adhi Suryanala. Tumungkul Ki Suryanala, sarta amangsuli ririh, Nadya rubuhana arga, Semeru ngong tan gumingsir, tekan ing lara pati, suwarga ginawe ayu, nggoleki pati apa, janji ingsun bener becik, kudu kena ing pati bekja manira. Wau Raden Wadana, sadangunira ningali, pulisi jetung sadaya, tansah ginagas ing galih, Suryanala kalirik, nulya angandika arum, Lah kakang Wignyasasra, andika mundur kariyin, mangke kula priyangga ingkang tatanya. Ki Ageng Darmawidya, sigra majeng mungging ngarsi, Ki Ageng kartikasastra, mungging wurinya tan tebih, Dyan Behi ngandika ris, Heh lembut kang aneng randhu, enceh kajukuk sapa, sapa rewange ngambil, lan samengko aneng ngendi pandelehnya. Kang mindha dhayang kamengan, margi ngajeng tan kaweling, mring kadange Candranala, wusana gugup mangsuli, Pangambile pribadi, wayahira bocah ngucul, samengko aneng wisma, kaseleh senthongireki, Nalasastya. Ki Ageng trang mirengira. Tan samar swaraning janma, nulya angandika malih, aturmu apa tan dora, sarta sira apa wani, nyangga panyumpah mami, kang mindha dhemit sumaur, Apa sakarsanira, ingsun ora ngarah asil, among tutur sabakane kewala. Candranala duk miyarsa, ature kang midha dhemit nalanira tarataban, gumeter kalangkung wanter, ngraos badhe bilahi, kajodheranakalipun, wau Raden wadana, ngandika dhateng ngabehi, Kartikasastra; Lah kakang age mentara. Anggawa catur rangga, sapanekare pulisi, santa langsir rumantia, galedhahen wisma neki, Suryanala den aglis, poma den nganti katemu. Ngabehi Kartikasastra, sandika umatur aglis, gagancangan lampahnya tan dangu prapta. Karangsari dhukuhira, Suryanala den leboni, ginaledhah jroning wisma, kang enceh datan pinanggih, loteng den osak-asik, ameksa datan kapangguh, senthonge binalengkrah, sangking gemeting pulisi, dome buntung kang ilang sami kapanggya. Sawusnya kang sepi kang wisma, gandhok pawon den goleki, kebon blumbang miwah kandhang, sadaya den osak-asik, suwung datan pinanggih, Ki Ageng prentahipun, kinen gledhah wisma, sadhusun aja na kari, ginaledhah sadaya sepi kewala. Sawusnya terang tan ana, Ki Ageng sigra mulih, ingiring panekarira, ing marga datan kawarni, prapta ngarsanireki, Ki Ageng gya ndangu, paran ing lampahira, panupa ta angsal kardi, Ki Ageng Kartikasatra aturira. Pukulun lampah kawula, sakanca paduka tuding, nggaledhah ing wismanira, Suryanala, tan kapanggih, dalah wismanireki, tiyang sadhukuh sadrum, enceh malih manggiha, wingka kewala tan manggih, Candranala sareng miring aturira. Ki Ageng Kartiksastra, kumesar tyasira kadi, sinamber ing gelap tuna, bayu kadi den lolosi, marasira tan sipi, tumus mring guwayanipun, payus biru abiyas, kadi murus tigang sasi, Ki Ageng Darmawidya waskitha. Aninggali ulatira, Candranala wus kadugi, wusana lajeng ngandika, dhateng wau Ki Ageng, kakang andika bali: galedhaha wisnanipun, Candranala manawa, guna-gunanireng janmi, gawe reka akarya sandi upaya. Ki Ageng Kartikasastra, sandika sigra lumaris, ambekta panekarira, rengga demang samya ngiring, datan kawarneng margi, sapraptaning wismanipun, Candranala tumulya, rangga wisma anggaledhahi barangira. Wenehdhateng senthongira, sjuga rangga udani, Ngandhap salu patleman, wonten buntelan kaeksi, sigra den parepeki, binuka bebungkusipun, bagor linapis tiga, kang kabungkus enceh nuli, ingaturaken Ki Ageng Katikasastra. Kang enceh tutup tembaga, suka saguireng janmi, tuwin para demang rengga, enceh nulya dan ungkabi, tutupira tembagi, katinggalan isinipun, akathah waminara, sadaya sarwi emas adi, demang rangga pulisi surak sadaya. Ki Ageng kartikasastra, sapanekirira sami, wangsul dhateng wewangunan, prapta ngarsanya Dyan Behi, Kartikasastra wotasari, kawula paduka utus, galedhah wismanira, Candranala. Rangga manggih, enceh saha mawi katutup tembaga. Wau sampun ulun buka, estu isi brana adi, lah punika encehira. Raden Wadana nabda ris, kakang binuka tutupipun, isi kinen medalna, sadaya dipun tingali, cocok kalih gugatipun candranala. Raden wahan ngandika, Heh Suryanala sireki, majua kapareng ngarsa, tinggalana batang iki, apa sira udani, kang duwe barang puniku, Ki Suryanala sigra majeng, majeng sarta awotsari, ndulu barang saha alon aturira. Pukulun inggih punika, enceh ingkang ulun panggih, awetan ingkang ulun pamggih, awetah saisenira, dereng wonten ingkang cicir, dene ingkang ndrabeni, kawula anuwun bendu. Ki Ageng ngandika, Wis mundhura sira dhingin, ingsun arsa tatanya si lelembut cidra. Heh lelembut ing randhu wana, kabeh aturmu tan yekti, ing mengko sira tanpaa, paukamanireng dhemit, Lah kakang Angabehi, Kartikasastra dipun guguh, wite kang kayu garing, saubenge randhu urugana wreksa. Tigang cengkal ibengira, kandeling tumpekaniki, pitung kaki nuli ndika, obong maju pat sing pinggir, sandhika Ki Ageng, gya parentah demangipun, trangginas para demang, parentahkinen ngusungi, kayu ingkang sinigidake akiwa. Tangginas panekarira, pulisi kang wus winangsit,ngusungi kayu simpenan, tan pantara dangu prapti, kayu katumpuk mungging, witing randhu ngundhung-undhung, eram sagung tuminggal, kang datan wuningeng wangsit, angrasani: kapan nggone aspek wreksa. Wau witing randhu wana, ingebyukan kayu garing, inggilira kalih depa, tri cengkal ubungireki, Candranala undeni, kayu tumpuk ngundhung-undhung, sumelang nalanira, mangkana osikireki, paran baya solahe si Naladhusta. Lamun kayu kaobongo, pasthi sadhulurku mati, dadi areng aneng kisma, manira tan wurung keni, ukuman laku juti, sabab barange katemu, aneng ngomah manira, paran nggoningsun mengkiri, padha-padha ngur manira ngatuma. Pati urip abalaka, sadhulurku aja mati, sebab yen kukum dursila, kabuang sangka nagari, lawas-lawas ya mulih, janji selamet tan lampus, kalebu rawa tuntang, kocapa para tuntang, kocapa para pulisi, ingkang ngusung rampung denya nata. Gya ingobong maju papat, Candranala anungkemi, padane Radyan Wadana, saha sru denya anangis, sasambut ngasih-asih, atur pejah gesangipun, nyuwun kasandekana, pangobongipun dhedhemit, yektosipun punika sadherek kula. Candranala wus balaka, katur satarekah neki, ing purwa madya wusana, suka Rahadyan Ngabehi, Darmawidya nuli, adhawah majehi latu, sirep Wadana ris, Candranala lah undangen kadangira. Sigra mentar Candranala, datan dangu wangsul ngirit, Naladhusta prapteng ngarsa, sigra denya anungkemi, ing pada Dyan Ngabehi, sagung pulisi agunggun, demang panewu rangga, anjenger gumun tan sipi, datan ngira yen dhemit dadi manungsa. Ing batin tan darbe kira, yen dudu dhemit sayekti, kang nyuwara aneng wreksa, randhu alas den arani, gandarwo nyobot janmi, kang saweneh ngungunipun, bangkite Candranala, denira akarya sandi, remitera nggone gawe akal dhusta. Kang saweneh ngungunira, marang raha Ki Ageng, Wigna pradata denira, akumpul kayu kinardi, ambesmi dhemit saksi, baya uwis mau-mau, ginalih pepulasan, ananging kinarya wadi, datan arsa medharake marang janma. Gumune ati manira, remite Ki Ageng, nyata lamun wicaksana, bisa anrjing angin, sajuga rangga angling, dhateng Demang kancanipun, Candranala punika, wau sadrengireki, kababaran, pripun pangira andhika?. Anauri kang tinanya, rehning kula dereng uning, alitipun miring warta, wonten tiyang nyolong mawi, anggugat dhateng janmi, kang cinolong barangipun, utawi tiyang utang, gugat ingkang den utangi, serta mawi seksi memedi wahuna. Saestu nunten kawula, tetepaken awoneki, kalenet sepir kawala, wangsul eram kula naming, Ki lurah, Ki Ageng, prakawis gawat kalangkung, teka saget ngupaya, wiyasa kalangkung rungsit, serta alus boten mawi kabrabean. Samanten Raden Wadana, lajeng karsa angrampungi, gugatipun Candranala, tam dados gugatireki, malah katipun dadi, dursila pitenah iku, akarnya bodjo marang, parentah ageng nagari, kokum bucal kenging pandamelan peksa. Laminipun sagang warsa, mawi tandha kalung wesi, kadangira Naladhusta, kabucal mung kawan warsi, tan mawi kalung wesi, pinamahken pulo krimun, nyambut damel kapeksa, nulya ingangetken kalih, ganatya Candranala tampi karampungan. Dene karampunganira, kanthi pranatan nagari, wau enceh isinira, tetep Sulyanala manggih, barang naliya ringgit, kalelang sadayanipun, kadadosaken arta, sawusira dados picis, pnartiga kanthi rukuning nagara. K I N A T H I Kabage pinara telu, dalah ingkang warna ringgit, sadarum katur negara, kang sadumanipun maring, pekir miskin jompo tuwa, anak yatim sadayaki. Dene kang sadumanipun, kaparingaken kang manggih, Suryanala langkung suka, antuk kucahing narpati, wus kalilan mulih marang, ing wismanira pribadi. Suryanala nulya mundur, mbentoyong amanggul anggris, neng marga tan kawursita, sapraptaning wismaneki, panggih anak rayatira, sami ngurubung anangisi. Miwah pawong mitranipun, tangga sadesa gya prapti, sadaya anglut karuna, taken warta karuna, taken warti ganti-ganti, jinarwan saking purwanya, tekeng madya wusaneki. Sadaya sami gegetun, wusana suka tan sipi, mumuji dhateng nagara, saking adiling narpati, luhura karatonira, tulusa mengku rat Jawi. Kasigeg kang sukeng kalbu, kocapa Ki Ageng, Wigya pradata sineba, sagung kang para pulisi, taksih mungguwing wawangunan, Dyan Behi ngandika aris. Sagung kanca-kancaningsun, manira tanya sayekti, dhateng prikanca sadaya, wau kalane miyarsi, kayu bisa anyuwara, parandenira andalih. Sagung pulisi sumaur, subiyantu atur neki, kawula mboten angira, lamun dede dhemit yekti, amargi kabaring jenma, ingkang sepuh-sepuh nguni. Lamun janma gentur laku, cegah guling, lajeng saged pawong mitra, kalih dhemit peri ejin, sapocapan kadi janma, naming wujud tan kaeksi. Damelipun among tutur, bilih den raosi janmi, awon sae tuwin seja, angawoni ngangkah pati, mitra wau lajeng sanjang, makaten damelireki. Raden Wadan gumuyu, kalih angandika aris, Yen makaten among kula, priyongga ingkang nggesehi, mulane si Suryanala, kadakwa dursila maling. Boten nganggo kula trungku, sebab empun kula piker, gugate si Candranala, basa nganggo saksi dhemit, kula nuli duwe kira, gugat pitenah sayekti. Sabab Suryanala busuk, sarta temen lamun tani, ketara aturanira, nalikane den takoni, kakang Behi Wigyasastra, cocog lan aturing langsir. Basa kature teng ulun, gugat jawab kula liling, teranging pangliling kula, meh kawetu kula runtik akon negor randhu wana, nuli tyas kula sabili. Nggih si Candranala niku, wong pinter kablingger yekti, paribasan dalan rupak, alumuh dipun dhisiki, rasa risi nalanira, kena alate wong becik. Punika wewelehipun, ing Allah kang Maha Suci, wong ala kudu ketara, wong becik pasthi ketitik, kilap enggal laminira, saestu sami katawis. Nggone gawe saksi iku, panggrasane luwih becik, boten ngira dadi ala, nuduhake goroh neki, panitikaning manungsa, enten solah muna-muni. Si Malawasa puniku, sasolah tingkahireki, kena ginawe tuladha, pangeling-eling ing buri, kinarya warah teng putra, wayah ingkang kari-kari. Supaya ngedohna niku, budi akal tan basuki, dadi janma mati murka, kurang panarimaneki, katarik ati sarakah, lali pawong mitra becik. Kandhutane jroning kalbu, wong ajeng urip pribadi, wusana mati priyangga, golek bener dadi sisip, gawe saksi tan prasaja, satemah dadi mateni. Balik si Nalasayeku, wong ngantepi bener becik, temen mantep pawong mitra, teka arep den pateni, Gusti Allah Kang Kuwasa, iku ora anglilani. Marmane manungsa iku, lamun temen seja becik, ora seja gawe ala, lamun arsa den alani, sayekti ora tumeka, ambalik mring kang ngalani. Samargane kudu kliru, ndilalah karsaning Widi, kawalik engetanira, ngendi ana manungseki, duwe sanak pawong mitra, setan thethekan memedi. Niku anglengkara tuhu, kula boten anyampahi, entene kang bangsa setan, sapadhane bangsa iblis, jer kasebut enten kitab, nanging yen kula pribadi. Sabangsanireng lelembut, kula padhakake kalih, sabangsane sato kewan, kutu-kutu buron warih, buron warih, buron dharat ingkang nyawa, gumreget sapadhaneki. Manungsa pasthi tan weruh, basane sarwa kumelip, pripun nggone cecaturan, lan pripun pundhuhireki, anjaba kewan omahan, kang lumrah kaingu janmi. Nadyan kewan ingon pundhuh, uga tan wruh basaneki, mulane yen enten jalmi, tutur percaya mami. Lah punika nyatanipun, Candranala mitraneki, dhemit malih Naladhusta, trange wong kang padha muni, apek setan kasurupan, kinawongake ing iblis. Nuli padha dadi dhukun, lan teka kang nyurupi, salin tingkah solahira, dalah suwarane salin, nuli meca lara-kena, wiyasa piranthi. Cature kaya wong ngelindur, ngaku bisa karya sugih, mring wong miskin tanpa karya, ngansur datan nambut kardi, sarta bisa gawe wirya, wong bodho cupet ing budi, agawe bodho nagara, pantes den kalungi wesi. Ing mangke kula pitutur, dhateng sagung kanca mami, pulisi nagari desa, kang nyepeng prentah alit, yen nindakake prakara, kang resik budinereki. Sarta pangabdining ratu, kang temen-temn ing ati, nggonira jago rumeksa, marang prajaning narpati, amurih agemah harja, ngenaki tyase wong cilik. Wewalesing kawulaku, marang Gusti Sri Bupati, denya kinula wisudha, sinung pangkating priyayi, sabobote dhirinira, kang dhingin narima ing sih. Ira kanjeng Sang Aprabu, paring kamulyaning dhiri, ngangsari anak rabinya, walese ngesrahken dhiri, , sumarah ing ngarsa nata, tan gumingsir tekeng pati. Ingkang kaping kalihipun, sabisa-bisanereki, pametune ing nagara, tambah tegal sawahneki, aja gawe kapitunan, nggonira rumeksa bumi. Rupane rumeksa iku, ngeman suda rusakneki, taberi angiderana. Mring desa bawahireki, mirsani kuranganira, saben sasi kaping kalih. Sarta takona sireku, apa anira bumi, salamet lan oranira, lamun wis takon prakawis, nuli sira warahana, laki ingkang bener becik. Budi kalakuanipun, ala kasingkirna sami, panggawe mrih kapitunan, lah gawe rusaking dhiri, utawa gawe cilaka, iku aja den lakoni. Rehning empun adatipun, wong cilik cupet ing budi, kurang sesurupanira, gumunan dhateng pawarti, gugon tuhon manahira, kadi catur kula ngarsi. Bab dhateng bangsa pitutur, ingkang mokal den gugoni, niku pada amulanga, dhateng pawong rehireki, dhewe-dhewe kang supaya, wong cilik padha mangerti. Wong padesan gunung-gunug, ngilangna pikirireki, gugon tuhon ngandel warta, ingkang mokal-mokal sami, tegese pawarta mokal, setan bisa gawe sugih. Loro bangsa pethek etung, mesthekake durung lair, iku aja den pracaya, kaping telu guna sekti, ngaku awas sarta bisa, andadekake priyayi. Wong bodho kang isih ngidhung, iku mokal satus kethi, mangkana sapadhanira, iku aja den parduli, kang sarana dhesti jimat, iku akal ngapusi. Sarana jimat kang tuhu, wasis sastra; Sundha-Landi, Jawa-Mlayu sabasanya, budi klakuwane becik, suwita ing Kanjeng Tuwan, temen mantep maju kardi. Semono during kinaruh, bisane dadi priyayi, yen nora katunggu beja, apa maneh bodho tuwin, sungkanan lumuh ing karya, budhune nganggo penyakit. Mokal ingkang kaping catur, pituturira ing janmi, ana panggonan utawa, kayu watu kewan tuwin, buron banyu buron wana, ana ingkang angker singit. Sebab ana dhemitipun, bisa gawe lara pati, bisa aweh kaluhuran, sarta bisa gawe sugih, iku banget mokalira, poma aja den gugoni.. Anjani saking puniku, sugenge pri kanca mami, ing wingking sami engetna, lelepian ing prakawis, lampahe pun Candranala, kali Naladhusta saksi. Puniku tetela sampun saking inaning pulisi, nalika pun Candranala, kadangu dipun lilani, ambekta rewang sajuga, ngrungu saliring pakarti. Naladhusta wus ngrungu, nulya angles amiranti, upami pun Naladhusta, tan miring parentah mesthi, tan saget amesthi dina, Senen dhangu dhateng saksi. Ing buri kari kalamun, adangu barang prakawis, sampun kalilanan nggawa, rewang siji kang nyedhaki, sarta lungguh ora kena, cedhakan kalawan saksi. Sarupane janma padu, gugat ginugat prakawis, kapisahna lungguhira, wetan kulon ingkang tebih, pandangunira kawitan, ganti maju siji-siji. Apa dene saksi iku, sapira akehing saksi, sadurunge kapariksa, sabab nggone angawruhi, apa ananing prakara, kudhungana imbar dhingin. Imbar temenira weruh, loro imbar atur neki, ingkang temen aturira, aja matur dora sandi, lamun matur datan nyata, kenoa ingimbar iki. Lamun wis kaimbar iku, sakathahe para saksi, kapisan lungguhira, aja paguneman pikir, ing rujukake paturan, apa dene saksineki. Mungsuhira lawan padu, kapiah siji-siji, tunggalna lan saksinira, mungsuhira padha siji, lamun arsa amariksa, sapisan aturing saksi. Masiha panggenanipun, kang sakira tan miyarsi, ature mring kancanira, saksi naliyanereki, aturane tulisana, aja kurang aja luwih. Saksi kang uwis kadangu, singkirna denira linggih, tan kena parekan janma, mangkana saurut neki, darapon saksi wedi, tutur kang nora sayekti. Kang sarta pandangunipun, saksi aja sapisan thil, rambahana kaping tiga, seje-seje kang nakoni, saben takon tulisana, apa saaturing saksi. Mangkanoa sapandhuwur, kalamun ndangu prakawis, pamurihira supaya, yen saksi tan wruh sayekti, pasthi wedi supata, lan geseh paturaneki. Lamun kawor lungguhipun, lan rewange padha saksi, kang nunggal prakaranira, sarta bareng den takoni, pasthi nunggal aturira, aku saksi peteng yekti. Kapindone saksi iku,lamun tan kaimbar yekti, sadurungira kapirsa, yen tan nyata angrawuhi, pasti wedi supata, datan sida anekseni. Mangkana panemuningsun, daropan rsik kang saksi, kang uwis datan mangkana, sumpahe mung den agagi, tan kasumpah temen dadya, kurang resikireng saksi. Pramila saksi puniku, kadangu rambah kaping tri, sarta kapundhut tekennya, utawa dumukireki, mengko nuli cocogena, apa geseh apa sami. Dene kuwajibanipun, wong dadi rangga pulisi, rumeksa marang nagara, sarta rumeksa wong cilik, kapurih padha raharja, sabawahira pribadi. Aja pegat pitutur, marang wong bawahireki, weruhna ing tata krama, adat caraning nagari, laku bejik laku ala, panggawe kang ngrusak dhiri. Kang dhingin ngelingna iku, marang janma karem main, kang nganggo totohan arta, lanang wadon gedhe cilik, iku poma walerana, sing prentahireki. Kaping kalih apemut, marang janma kang madati, sineret sarta inguntal, sinaruput den larangi, marga iku gawe rusak, marang dhiri anak rabi. Pitutur kang kaping telu, madon jina den larangi, iku gawe rusak uga, lawan sarak den larangi, kaping patira wong mangan, minum iku den larangi. Karana panggawe catur, iku padha ngrusak dhiri, dalah anak rayatira, padha milu rusak sami, marma iku winaleran, angeman badanireki. Ana maning kang pitutur, marang lurah bekel niki, utawa kaum kabayan, para kamituwaneki, kampung-kampung tuwin desa, prentahana amiranti. Gegamanireng prang pupuh, tumbak keris pedhang bedhil, anjagani mbok menawa, ana muk kecu maling, tandang tulung rumantia, jaga diri lan nagari. Kapindho pratia iku, tong kopoh lan ganthol wesi, cuwak andha sapandhanya, kang bakal kanggo kinardi, tandhang tulung mbok menawa, ana wisma kang kabesmi. Piranti bab kaping telu, pacul linggis pecok kundhi, sapadhane kang kinarya, negor kayu ndhudhuk siti, mbok menawa ana karya, parentahireng nagari. Negor kayu ngelih lurung, utawa kencana cilik, ingkang meskin kasripahan, lurah wajib anulungi, marang kasusahanira, pawong rehira wong cilik. Bab kaping nem : lurah kampung, parentahana mbeciki, dalan laren njabanira, ing desa wajibireki, utawa sajroning desa, padha becikna sami. Sawise mbeciki lurung, sakalane pinggir margi, sarta dalane simpangan, nuli becikana, maring pager dhadhah ingkang jaba, saubenge desaneki. Iku kang santoso kukuh, karya pakewuhe maling, yen wis becik pager jaba, nuli mbecikna maring pager cepurining wisma, anganggoa lawang kori. Inebira ingkang bakuh, jroning pager ingkang resik, karya pekewuhira, marang wong kang laku juti, mangkonoa sakehira, janma kang wisma pribadi. Sarta ingkang rukun guyup, janma sadesa puniki, gawea enggon patrolan, kang sakira kiwa sepi, kang patrol angubengana, ing desa ping pat sawengi. Jam sanga sapisanipun, jam sawelas kaping kalih, jam siji ping tiganira, jam telu ping patireki, murih selameting desa, kalis dursila maling. Pitutur bab kaping pitu, para lurah bekel sami, ngencengna parentah marang, kancanira among tani, ambecikana bendungan sarta wangun dalan warih. Ingkang maring sawahipun, pribadi sarta sarta mbecik, galenganganing sawahira, lawan kinon angrabuki, tegal sawah saben mangsa, iku aja lali-lali. Supaya tanduran lemu, lan sagunge para tani, kang padha akas adhangan, sarta ingkang ataberi, ngati-ati ping tiganya, kaping catur : wekel gemi. Ngati-ati dennya mluku, kang jero sarta kang napis, adhayung gadhanganira, lamun uwis den tanduri, kang taberi marang sawah, ngopeni banyunireki. Aja asat aja agung, lamun nganti asat garing, gelis thukul suketira, lamun agung lodhoh mati, yen wis urip tandurira, utawa gumadhung nuli. Kawatana tanduripun, kang sregep marang sabin, manawa kena ing ama, utawa dipun pageri. Makaten wong dadya sepuh, angerehaken wong cilik, tan kendhat sung warah, ing pratikel ingkang becik. Denya pamariksa rehipun, kapesthia saben sasi, sapisan lan asung warah, angosiknaingkang lali, ngelingana panggawe harja, kang bakal dadi prayogi