www.arcocrewek.com

Arcocrewek

Selasa, 18 Februari 2014

Sejarah Desa Crewek

Menurut cerita leluhur nenek moyang,awal mula terjadi desa crewek tak lepas dari cerita legenda bledug kuwu. Di mana sang Joko Linglung setelah menjalankan tugas membunuh bajul putih di pantai selatan,kemudian kembali ke medang kamulan melalui dasar bumi. Di desa crewek inilah ke dua kalinya Joko linglung muncul ke permuka'an untuk memastikan apakah telah sampai di medang kamulan atau belum. Dan ternyata belum sampai di medang,dan di sinilah Joko Linglung berkata " sok reja rejane jaman tak jenakno deso crewek " Begitulah awal mula terjadinya desa crewek. Dan setelah era legenda joko linglung,di desa crewek juga terdapat danyang/cikal bakal desa crewek,yaitu seorang perempuan yang bernama mbah mursiah. Dan di tandai dengan berdirinya pohon asem. sampai dengan sa'at ini sebagian besar masyarakat desa crewek masih mempercayai pohon asem tersebut. jika ada orang mempunyai hajat,di pohon asem pasti terdapat sesajen.seiring berjalanya waktu dan kemajuan tehnologi,adat ini sebagian orang telah meninggalkan. pada jaman dulu desa crewek belum tersaluri aliran listrik,sehingga menggunakan lampo teplok atau sentir minyak tanah.ada juga sebagian yang menggunakan lampu petromak,tapi hanya orang kaya.setiap malam terasa gelap,sunyi.hanya kadang kala jika bulan purnama orang orang di luar rumah,untuk sekedar bercengkrama.dan anak anak kecil se usia saya bermain muk muk'an/petak umpet,atau bermain cublek cublek sueng. Aliran listrik masuk ke desa kami kira kira tahun 1990 kalau tidak salah.seingat saya,saya masih SD kelas 4. Desa crewek adalah desa agraris,dan masyarakatnya sangat muslim.sebagian besar masyarakat desa crewek adalah petani,ada juga yang berniaga. hasil panen desa crewek adalah padi,jagung dan palawija.hewan pelihara'an masyarakat desa crewek adalah sapi,wedos,jangkrik,pitek,banyak,mermut,bebek,mentok. Desa Crewek adalah tempat dimana saya di lahirkan dan dibesarkan.letak geografis Desa Crewek adalah kecamatan kradenan kabupaten grobogan propinsi jawa tengah... Ngerti ora sooooooonnnnnn....

Hahahahahahahahahahahahaaaa...

Senin, 17 Februari 2014

Sejarah Bethoro Semar

Batara Semar MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya. Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru. Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas. Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:

1. tidak pernah lapar

2.tidak pernah mengantuk

3.tidak pernah jatuh cinta

4.tidak pernah bersedih

5.tidak pernah merasa capek

6.tidakpernah menderita sakit

7.tidak pernah kepanasan

8.tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia. Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga. Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta. Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna. Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya. Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar. Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar. Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta. Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta. Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar. SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi

Minggu, 16 Februari 2014

Sejarah letusan gunung Tambora

  Tahun 1815 adalah tahun bersejarah bagi perubahan iklim di dunia. Banyak juga yang menyebutnya sebagai "kiamat kecil" lantaran pada tahun tersebut Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat meletus hebat.   Gunung Tambora adalah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Letusan gunung yang memiliki tinggi 2.851 meter itu menjadi letusan terbesar sejak letusan Danau Taupo pada tahun 181. Sebelumnya, Gunung Tambora memiliki tinggi 4882 mdpl dan menjadi puncak tertinggi kedua di Indonesia setelah Jaya Wijaya. Namun letusan yang luar biasa besar melenyapkan hampir separuh bobot tubuhnya.   Kaldera abadi akibat letusan pun sangat besar, seluas 7 km, serta jarak antara puncak dengan dasar kawahnya sedalam 800 meter. Total kematian yang ditimbulkan adalah 71.000 jiwa, bahkan ada sumber yang menyebut data korban hingga 92.000 jiwa. Letusan tersebut juga menyebabkan perubahan iklim di dunia, diantaranya;

   1. Lelehan lava panas dengan batu berterbangan ke langit bersama gas mematikan telah menewaskan sekitar 17.000 orang. Berikutnya, 400 juta ton gas sulfur menguasai langit hingga jauh di atas awan mencapai 27 mil ke strastofer, debu tebalnya bahkan telah menyelimuti Pulau Bali dan mematikan vegetasinya.

    2. Letusan Gunung Tambora itu terdengar hingga ke Pulau Sumatera, Makassar, dan Ternate sejauh 2.600 km

.   3. Saking tebalnya abu-abu yang berterbangan di langit, sepanjang daerah dengan radius 600 km dari gunung tersebut terlihat gelap gulita selama dua hari. Dikarenakan sinar matahari tak mampu menembus tebalnya abu-abu tadi. 

  4. Abu dan debu Tambora melayang dan menyebar mengelilingi dunia, menyobek lapisan tipis ozon, menetap di lapisan troposfer selama beberapa tahun kemudian turun melalui angin dan hujan ke Bumi. Hujan tanpa henti selama delapan minggu memicu epidemi tifus yang menewaskan 65.000 orang di Inggris. 

  5. Satu tahun berikutnya (1816), sering disebut sebagai tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. 

  6. Terjadi gagal panen di China, Eropa, dan Irlandia. Bahkan terjadi tragedi kelaparan di Perancis yang menyulut kerusuhan di negeri itu. 

   Letusan Gunung Krakatau tahun 1983 terasa sudah sangat hebat, bayangkan, letusan Gunung Tambora ketika itu 4x lipat lebih dasyhat dibanding letusan Krakatau. Kisah yang memilukan ini sering dikaitkan dengan nama Tambora yang berasal dari dua kata, yakni "ta" dan "mbora" yang berarti ajakan menghilang

Minggu, 09 Februari 2014

Sejarah Candi Borobudur

Menurut sejarah Candi Borobudur dibangun oleh Raja Smaratungga salah satu raja kerajaan Mataram kuno dari dinasti Syailendra pada abad ke-8. Menurut legenda Candi Borobudur dibangun oleh seo...rang arsitek bernama Gunadharma, namun kebenaran berita tersebut secara hirtoris belum diketahui secara pasti. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun. Sedangkan ketika dilihat dari udara, bentuk Candi Borobudur mirip dengan teratai. Teratai memang salah satu dari simbol-simbol yang dipakai dalam penghormatan (puja) agama Buddha, melambangkan kesucian, mengingatkan umat Buddha untuk senantiasa menjaga pikiran dan hati tetap bersih meski berada di lingkungan yang tidak bersih. Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan khayalan ilmiah terhadap Candi Borobudur. Didukung penelitian geologi, Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi Borobudur bukannya dimaksud sebagai bangunan stupa melainkan sebagai bunga teratai yang mengapung di atas danau. Danau yang sekarang sudah kering sama sekali, dulu meliputi sebagian dari daerah dataran Kedu yang terhampar di sekitar bukit Borobudur. Foto udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau yang amat luas di sekeliling Candi Borobudur. Menurut kitab-kitab kuno, sebuah candi didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian sungai dan danau, dan pertemuan dua sungai dianggap menjadi lokasi yang baik untuk pendirian sebuah candi. Yang menarik dari Candi Borobudur adalah nama arsiteknya, yang bernama Gunadharma. Tapi siapakah Gunadharma? Tidak ada catatan sejarah mengenai tokoh bernama Gunadharma ini. Diperkirakan Gunadharma merupakan simbol dari nama seseorang yang punya intelektual luar biasa. Ada anggapan bahwa Candi Borobudur dibangun dengan bantuan 'makhluk lain'. Bahan dasar penyusun Candi Borobudur adalah batuan yang mencapai ribuan meter kubik jumlahnya. Sebuah batu beratnya ratusan kilogram. Hebatnya, untuk merekatkan batu tidak digunakan semen. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni batu atas-bawah, kiri-kanan, dan belakang-depan. Bila dilihat dari udara, maka bentuk Candi Borobudur dan arca-arcanya relatif simetris. Kehebatan lain, di dekat Candi Borobudur terdapat Candi Mendut dan Candi Pawon. Ternyata Borobudur, Mendut, dan Pawon jika ditarik garis khayat, berada dalam satu garis lurus. Candi Borobudur merupakan candi Budha, terletak di desa Borobudur kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Nama Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara dari bahasa Sansekerta berarti... kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur berasal dari kata Beduhur yang berarti di atas, dengan demikian Borobudur berarti Biara di atas bukit. Sementara menurut sumber lain berarti sebuah gunungyang berteras-teras (budhara), sementara sumber lainnya mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi. Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut. * Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. * Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. * Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. * Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam. Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang). Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa. Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi. Materi Candi Borobudur Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir. Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia

Sabtu, 08 Februari 2014

Sejarah Jowo Kuno

Tahukah anda bahwa sebutan untuk pulau Jawa di zaman dahulu, merupakan satu dari gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara yang disebut Nusantara, dimana pada waktu itu masih dinamakan dengan Sweta Dwipa. Seluruh gugusan kepulauan di Asia Selatan dan Tenggara dinamakan anak benua atau gugusan pulau-pulau Jawata. Dahulu ,anak benua di India disebut Jambu Dwipa, sedangkan seluruh kepulauan Nusantara disebut Sweta Dwipa. Karena Jambu Dwipa dan Sweta Dwipa berasal dari daerah yang sama, maka tidak heran kalau budayanya banyak yang menyerupai atau dalam perkembangan saling mempengaruhi. Dari perkembangan geografis, pada 20 hingga 36 juta tahun lalu, di Asia bagian selatan terjadi proses bergeraknya anak benua India ke utara, mengakibatkan tabrakan dengan lempengan yang diutara, akibatnya ada tanah yang mencuat keatas , yang kini dikenal sebagai gunung Himalaya.Pada saat itu dataran Cina masih terendam lautan.Anak benua yang diselatan dan tenggara ,yaitu Jawata, termasuk Sweta Dwipa dan Jawa Dwipa muncul sebagai pulau-pulau mata rantai gunung berapi. Dalam cerita kuno dikatakan bahwa orang Jawa itu anak keturunan atau berasal dari dewa. Dalam bahasa Jawa orang Jawa disebut Wong Jawa, dalam bahasa ngoko-sehari-hari, artinya : wong itu dari kata wahong Jawa, artinya orang Jawa itu adalah anak keturunannya dewa. Begitu pula Tiyang Jawaitu dari Ti Hyang Jawa artinya juga sama, yaitu anak keturunan dewa ,dalam bahasa krama inggil –halus. Jawata artinya adalah dewa, gurunya orang Jawa. Menurut pedalangan wayang kulit, keindahan pulau Jawa dikala itu telah menarik perhatian dewa dewi dari kahyangan, sehingga mereka turun ke marcapada, tanah Jawa dan membangun kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Dwipa.Raja Kediri, Jayabaya adalah Dewa Wisnu yang turun dari kahyangannya.Jayabaya amat populer di Jawa dan Indonesia karena ramalannya yang akurat mengenai sejarah perjalanan negeri ini dan berisi nasihat-nasihat bijak bagi mereka yang memegang tampuk pimpinan negara, para priyayi/pejabat negara, tetapi juga untuk kawula biasa.Ajarannya mengenai perilaku yang baik benar sebenarnya juga mempunyai kebenaran universal. Kerajaan Pertama Jawa Dwipa, menurut salah satu sumber adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa , letaknya di gunung Gede, Merak, dengan rajanya Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo. Ini melambangkan dewa kahyangan, permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, nama dari Dewi Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan Lembu Suro yang tinggi elmunya/pengetahuan spiritualnya ,. yang mampu hidup di tujuh dimensi alam (Garbo Pitu), tinggal di Dieng (letak geografis di Jawa Tengah). Dieng dari Adhi Hyang artinya suksma yang sempurna. Perkimpoian Wisnudewo dengan Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa suksma untuk menetap dibumi. Keberadaannya di bumi aman dan bisa berkembang karena didukung oleh daya kekuatan bumi yang digambarkan sebagai Begawan Lembu Suro. Kecantikan Pulau Jawa bahkan menarik hati Rajanya para dewa yaitu Betara Guru untuk mendirikan kerajaan dibumi. Turunlah dia dari domainnya di Swargaloka dan memilih tempat tinggal di gunung Mahendra. ( Kini disebut Gunung Lawu terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur antara Surakarta dan Madiun). Betara Guru punya nama lain Sang Hyang Jagat Nata , ratunya Jagat Raya – The king of the Universe dan Sang Hyang Girinata, ratunya gunung-gunung, – the King of Mountains. Di kerajaan Mahendra, Sorga yang agung – The great Heaven , Betara Guru memakai nama Ratu Mahadewa. Karaton kerajaan Mahendra dibangun mirip seperti karatonnya yang di Kahyangan. Piranti-piranti sorga juga dibuat, antara lain: Gamelan, seperangkat alat musik untuk hiburan para dewa dengan menikmati alunan suaranya yang merdu dan saat sedang menari/olah beksa. Menari/olah beksa itu bukanlah sekedar mengayunkan raga mengikuti ritme musik tetapi merupakan latihan untuk konsentrasi dan selanjutnya kontemplasi untuk mengenal jati diri dan menemui Sang Pencipta (seperti Yoga dalam arti yang sebenarnya) . Nama gamelan itu adalah Lokananta. Patung-patung penjaga istana yaitu Cingkarabala dan Balaupata , yang diletakkan dikanan-kiri pintu gerbang istana. Artinya istana dijaga kuat sehingga aman. Pusaka berupa keris , cakra, tombak, panah, dll dibuat oleh empu terkenal yaitu Empu Ramadhi. Raja Dewa Lain Setelah para dewa bisa tenang tinggal dibumi Jawa , menikah dengan putri pribumi dan punya anak keturunan, Betara Guru kembali ke Kahyangan. Beberapa putranya ditunjuk untuk meneruskan memimpin kerajaan-kerajaan selain di Jawa juga di Sumatra dan Bali. Di Sumatra : Sang Hyang Sambo bergelar Sri Maharaja Maldewa, di kerajaan Medang Prawa, di gunung Rajabasa .( Didekat Ceylon sekarang ada negeri Maldives). Di Bali : Sang Hyang Bayu , bergelar Sri Maharaja Bimo, di Gunung Karang , kerajaannya Medang Gora. ( Pulau Bali juga terkenal sebagai Pulau Dewata). Di Jawa : Sang Hyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda, di gunung Mahera , Anyer, Jawa Barat. Kerajaannya Medang Gili.( Asal mulanya penduduk yang tinggal di Jawa bagian barat disebut orang Sunda). Sang Hyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman , di gunung Gora , Gunung Slamet , Jawa Tengah. Kerajaannya Medang Puro. Sang Hyang Indra, bergelar Sri Maharaja Sakra, di gunung Mahameru, Semeru , Jawa Timur. Kerajaannya Medang Gana. Karaton dipuncak gunung Menarik untuk diperhatikan bahwa para dewa selalu membangun karaton dipuncak-puncak gunung. Ini menggambarkan dewa itu berasal dari langit, dari tempat yang tinggi. Tempat tinggi, diatas itu artinya bersih, jauh dari hal-hal kotor, sikap harus dijaga tetap suci, baik, benar, sopan, bagi dewa yang telah menjadi manusia dan tinggal dibumi. Bumi Samboro Ini artinya tanah yang menjulang kelangit. Dalam kebatinan Kejawen, contohnya adalah Gunung Dieng, Adhi Hyang, maksudnya supaya orang selama masih hidup didunia mencapai puncak pengetahuan spiritual, mendapatkan pencerahan jiwani, tinggi elmunya, suci lahir batin. Puncak itu adalah Adhi Hyang atau Bumi Samboro. Dewo ngejowantah Dewa yang menampakkan diri. Dewa yang berbadan cahaya bisa menampakkan diri dan dilihat oleh saudara-saudara kita yang telah tinggi tingkat kebatinannya, yang sudah bontos elmu sejatinya., artinya sudah melihat kasunyataan – kenyataan sejati. Dipandang dari sudut spiritualitas, turunnya dewa ke bumi adalah gambaran dari merasuknya suksma, spirit, jiwa kedalam badan manusia dan lalu menjadi manusia. Oleh karena itu, manusia termasuk manusia Jawa adalah berasal dari suksma, spirit, dewa

Kamis, 06 Februari 2014

Sejarah asal usul Setan Kober

Pada masa Brawijaya 1 sampai turun ke 4 tahta selanjutnya, tatkala sir wingit telah merasuki tubuh makhluk hidup dan keseimbangan bathin sudah diambang keumuman, saat itulah kesaktian bentuk ilmu bagian dari kehidupan manusia hingga suatu keterbatasan tidak lagi menjadi penghalang. Terciptalah zaman di mana manusia dan makhluk tak kasat mata saling berkomunikasi secara bebas. Wahyu ning zaman para Dewa, menjadikan masa kala itu disebut kejawen jawi, yang mengedepankan makna keluhuran bagi umat manusia. Perjalanan pulau Jawa, sejak zaman sanghiyang Bangau (sebelum masa WaliSongo) seluruh peradaban manusia pada masa itu terbagi menjadi tiga golongan, Manusia, Lelembut, dan Siluman dari bangsa seleman. Dari seluruh golongan ini akhirnya terpecah menjadi dua bagian yaitu, aliran putih dan hitam. Kisah terbaginya golongan ini pada akhirnya mendatangkan peperangan hingga turun sampai ke zaman di mana WaliSongo, dilahirkan. Tersebutlah nama dari sekian banyaknya para tokoh sakti beraliran hitam kala itu "Setan Kober" sosok setengah siluman yang banyak membawa risalah pertumpahan darah bagi seluruh umat manusia. Setan Kober, nama yang sangat melegendaris bagi seluruh aliran hitam sejak kerajaan Majapahit pertama didirikan. Bercerita tentang ilmu kesaktian, beliau belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga pada masa kejayaannya, Setan Kober, telah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya pernah menjabat sebagai guru besar tujuh aliran sekaligus selama 473 tahun lamanya. Di antara tujuh aliran yang dimaksud adalah, bangsa manusia, lelembut dari alam laut, bangsa jin segala penjuru alam, bangsa togog dari zaman purwacarita, bangsa siluman seleman, bangsa perkayang bumi lapis tiga dan bangsa ngahyang. Asal usul Setan Kober, terlahir dari seorang Banaspati agung di zaman purwacarita sepuluh bernama, Raja Lautan, berasal dari keturunan siluman selemen / bangsa api. Dari hikayat yang ada, Raja Lautan, pernah dikalahkan satu kali dalam hidupnya oleh Nabiyullah Hidir AS, dimasa kejayaan Alexandria Agung. Sebuah kontemplasi yang Misteri lakukan, ternyata Setan Kober, mempunyai tempat tinggal selayaknya manusia pada umumnya, yaitu, di dalam hutan Panji, didaerah perbatasan antara Cibogo, Benda Kerep, dan pemahaman ini pernah juga tersirat dalam bukunya RA, Suladiningrat Kesepuluhan, yang berjudul "Babad Tanah Cirebon". Bercerita tentang rumah Setan Kober, hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari tulang belulang binatang dan manusia. Dan dibelakang rumahnya berdiri kokoh satu pendopo yang terbuat dari beraneka tulang macan, kujang, kerbau dan singa. Kesehariannya, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di pendopo untuk mengajarkan beragam ilmu kepada muridnya yang berasal dari beragam golongan dan bila waktu senggang, beliau banyak mengarahkan waktunya untuk menciptakan bilahan keris sakti mandraguna, dan keris buatannya sampai kini masih banyak dimiliki sebagian ahlul bathin. Seperti halnya gambar keris diatas, keris ini buatan asli tangan Setan Kober, yang beliau berikan pada Pangeran Arya Panangsang, sebelum belaiu terbunuh oleh Jaka Tingkir, dan pada perang gerilya Indonesia, lewat sebuah hawatir akhirnya keris ini diberikan kepada pangeran Diponogoro, dan baru muncul kembali setelah sekian lama menghilang ditahun 2007, kini keris ini masih dilestarikan sebagai sarana derajat dalam pemilihan seorang pemimpin. Di masa raja Jawa, nama Setan Kober, selalu disebut-sebut sebagai orang nomor satu dunia persilatan, beliau kerap menjadi jawara pilih tanding yang banyak dimanfaatkan oleh para raja Jawa sebagai pembunuh bayaran. Bahkan dimasa Brawijaya ke-5, beliau kerap menjadi ahli strategi perang istana Majapahit, dalam mengalahkan ratusan panglima pilihan seluruh kerajaan yang ada di belahan dunia. Baru namanya surut dan akhirnya ngahyang selamanya, akibat perasaan malu setelah beliau dikalahkan oleh jawara sakti pangeran Suto Wijaya Gebang. Bagaimana kisah ini bisa terjadi ? Inilah simakannya. Dimasa perang antara Majapahit dan Demak Bintiri, yang pada saat itu rajanya bernama Raden Fatah, dengan dibantukan 101 Waliyullah, dibawah komando panglima besar Sunan Kudus. Tujuh belas tahun, dua kerajaan ini pernah terlibat sengit dan 24 kali mereka bertemu dalam peperangan hebat, 18 kali Majapahit menyerang Demak, dan 6 kali Demak balik menyerang Majapahit. Wilayah yang pernah menjadi pertumpahan darah antara Majapahit dan Demak Bintoro, diantaranya, Magelang, Sragen, Banyu Wangi, Kudus, Klaten, Tidar, Madura, Lasem, Purwo Rejo, Yogya, Batang, Semarang dan Surabaya. Dengan strategi yang matang, Setan Kober, yang kala itu menjadi bagian kerajaan Majapahit, mulai menyebar aksinya dibeberapa pelosok desa terpencil dengan cara membunuh satu persatu para jawara Islam yang dianggapnya telah berkomplot dengan kerajaan Demak Bintoro. Bahkan disamping lainnya Setan Kober, mulai menyusun kekuatan dengan mendatangi dedengkot aliran hitam dipenjuru pelosok desa, diantara nama aliran hitam yang pernah bergabung dengannya, Pangeran Tepak Palimanan, Pangeran Telaga Herang, Pangeran Ucuk Umum Banten, Pangeran Lodaya Indramayu, sebelum masuk Islam, Pangeran Samber Nyawa dari daerah Cuci Manah, Pangeran Kebo Kinabrang dari gunung Tangkuban Perahu, Ki Gede Jalu, dari Brebes, Ki Gede Kapetakan, Ki Gede Lewimunding, Ki Gede Tegal Gubug, sebelum masuk Islam, Ki Gede Purba Lanang, siluman air daerah gunung Tidar Jateng, Ki Janggala Wesi, dari siluman seleman, dan lainnya. Pada perang ke 17, kerajaan Islam Jawa, pernah dikalahkan dengan terbunuhnya beberapa Waliyullah, diantaranya Sunan Udung, Sunan Pajang, Sunan Beling, Sunan Persik, Sunan Odong, Sunan Rohmat, Sunan Qoyyim dan Sunan Menjangan atau Pangeran Sambar Nyawa. Namun dalam sejarah lain menyebutkan, kekalahan Islam pada waktu itu akibat bangsa Waliyullah, tidak semuanya turun ke medan laga dikarenakan mereka sedang berkabung atas wafatnya Sunan Ampel, salah satu WaliSongo, sehingga kala itu para Waliyullah, lebih banyak ta’ziah datang ke daerah Ampel. Di lain pihak setelah kekalahan Islam mulai menjadi buah bibir dikalangan masyarakat luas, Sunan Gunung Jati, Pangeran WalangSungsang, Sunan KaliJaga, Sunan Kudus dan Sulthan Hasanuddin Banten, mulai merapatkan barisan dengan memilih diantaranya untuk mencari beberapa tokoh aliran hitam. Pada masa itu yang diutus untuk menandingi kesaktian aliran hitam diantaranya, pangeran WalangSungsang atau Mbah Kuwu Cakra Buana, Sunan KaliJaga, pangeran Arya Kemuning, Syeikh Muhyi muda Tasik, Nyaimas Gandasari, Panguragan, Syeikh Suto Wijaya Gebang, pangeran Hasanuddin Banten, Syeikh Sapu Jagat dan Syeikh Magelung Sakti. Lewat mandat Sunan Gunung Jati, mereka bergerak dengan cara terpisah, dan lewat perjalanan panjang selama tujuh tahun lamanya, mereka akhirnya bisa menaklukkan seluruh bangsa aliran hitam. Namun hal semacam itu bukan berarti mereka mudah menandingi ilmu dedengkot para aliran hitam melainkan butuh perjuangan dan kesiapan matang, sebab dalam menjalankan tugas ini mereka juga pernah dikalahkan sewaktu duel kesaktian bersama dedengkot aliran hitam. Seperti pangeran Arya Kemuning misalnya, beliau pernah berhadapan dengan dedengkot aliran hitam pangeran Telaga Herang, namun dalam adu kesaktian Arya Kemuning bisa dikalahkan dengan mudah, baru saat perang tanding dengan Syeikh Muhyi muda Tasik, pangeran Telaga Herang, kalah telak dan akhirnya ngahyang sampai sekarang. Juga Nyimas Gandasari, yang kala itu ditugaskan untuk menangkap pangeran Ucuk Umum, beliau kalah dalam adu kesaktian, baru tatkala Mbah Kuwu Cakra Buana, turun ke laga, pangeran Ucuk Umun, bisa dikalahkan dan akhirnya ngahyang selamanya, kisah ini terjadi di pantai Karang Bolong Banten. Sunan KaliJaga, beliau pernah dikalahkan oleh pangeran Tepak Palimanan, dalam penaklukkan wilayah Cirebon, kekalahan Sunan KaliJaga, akibat campur tangan Prabu Siliwangi, dan baru setelah kedatangan pangeran Arya Kemuning dan Mbah Kuwu Cakra Buana, pangeran Tepak Palimanan, bisa terbunuh dengan kepala terpotong dari raganya, kisah ini terjadi dipuncak bukit Palimanan, yang bernama gunung Tugel. Kembali ke cerita asal, pertempuran antara pangeran Suto Wijaya Gebang, dengan Setan Kober, di daerah hutan Pranji, tidak bisa dihindarkan lagi, kedua musuh bebuyutan ini saling mengerahkan kesaktiannya hingga sampai 40 hari lamanya. Dalam perkelahian panjang ini akhirnya dimenangkan oleh pangeran Suto Wijaya, sehingga Setan Kober, akhirnya ngahyang dihutan Pranji, selamanya. Kisah terkalahkannya Setan Kober, akhirnya jadi perbincangan orang banyak sehingga Mbah Kuwu Cakra Buana, selaku gurunya sangat khawatir. Pasalnya sejak kejadian itu pangeran Suto Wijaya, diangkat menjadi seorang pemimpin oleh seluruh bangsa gaibiah sehingga Mbah Kuwu Cakra Buana, merasa takut ilmu yang beliau berikan selama ini disalah gunakan oleh murid-muridnya. Dalam sejarah babad tanah Jawa, ilmu pangeran Suto Wijaya Gebang, satu-satunya Ilmu paling ditakuti oelh seluruh bangsa siluman atau gaibiyah, ilmu yang dimilikinya adalah "Syahadat Majmal" dimana ilmu ini dibacakan maka seluruh gaibiyah yang ada akan mengikuti ucapan kita, bahkan dalam perang tanding melawan Setan Kober, ilmu inilah yang menjadi andalannya hingga Setan Kober sendiri, harus menerima kekalahannya dengan tubuh terbakar. Dalam kisah lain diceritan, setelah satu tahun Setan Kober, dikalahkan, pangeran Suto Wijaya Gebang, bilau akhirnya dipanggil menghadap Mbah Kuwu Cakra Buana, ‘Andika, bagaimanapun  juga dirimu telah menjadi orang yang ditakuti seluruh makhluk tak kasat mata, namun menurutku, jauhkan ilmu itu sehingga antara manusia dengan bangsa gaib ini tetap lestari selamanya, sebab kasian bagi yang lain, dengan adanya ilmu yang andika miliki sekarang, maka seluruh bangsa gaib akan punya batasan tertentu yang menjadikan mereka percaya hanya pada Andika". Dengan patuh pangeran Suto Wijaya mengiyakannya, tanda beliau setuju dengan ucapan gurunya. Namun lain sifat lain pula kenyataannya. Ya… Benar juga ucapan Mbah Kuwu Cakra Buana, walau pangeran Suto Wijaya, sudah menerima atas mandat gurunya akan tetapi para muridnya yang berasal dari bangsa siluman dan gaib lainnya, hanya tunduk pada majikannya bukan pada orang lain sehingga walau Mbah Kuwu Cakra Buana, adalah gurunya pangeran Suto Wijaya, dengan cara sembunyi tangan akhirnya mereka tidak menerima pengakuan Mbah Kuwu Cakra Buana, dengan cara menyerang seluruh kerathon Pakung Wati Cirebon. Dalam hal ini Mbah Kuwu Cakra Buana, tidak tinggal diam, beliau langsung menghadapinya dengan pusaka "Golok Cawang" dan akhirnya seluruh bangsa gaib bisa dikalahkan dengan mudah. Dengan kejadian ini Mbah Kuwu Cakra Buana, akhirnya menciptakan satu ilmu tandingan yaitu, Qutho Qosot, yang bertajuk: "Syetan, jin, perkayang, dedemit, lelembut dan lainnya akan tunduk atas namaku" dan sebelum kisah ini berakhir ada baiknya kita semua tahu bahwa, walau Setan Kober, telah ngahyang selamanya, namun beliau telah mempunyai satu putra sebagai generasi penerusnya yaitu "Banaspati" yang kini masih menjadi prokontra kalayak ahli bathin.

Rabu, 05 Februari 2014

Sejarah perhitungan Tahun jowo kuno

Pada jaman dahulu masyarakat jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai contoh pada setiap bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan, gapura, tugu, dan bangunan-bangunan lainnya. Selain itu pada karya-karya sastra jawa, benda-benda bersejarah, karya seni, lambang/seimbol suatu kota, lembaga atau organisasi, surat-surat jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau waktu tahun penulisannya. Sengkalan juga sering digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting yang terjadi disuatu masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap kondisi politik, sosial, atau juga bermakna do’a harapan, peringatan kelahiran seseorang, kematian seseorang dan sebagainya. Misalkan pada masa masa akhir Kerajaan Majapahit ditandai dengan Candrasengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menggambarkan runtuhnya Kerajaan besar tersebut pada tahun 1400 Saka. Kemudian juga pada Menara Kudus tertulis Candrasengkala Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menggambarkan kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang kacau ketika itu yaitu tahun 1609. Untuk Sengkalan yang bermakna do’a atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai contoh adalah Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang mengandung makna do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia ini hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut serta menyusup dan menyebabkan kesengsaraan rakyat. Suryasengkala tersebut tertulis dalam suatu syair penutup Sekar Pucung di dalam Serat Kamardikan yang selesai ditulis pada tahun 2002 oleh Ciptawidyaka. Dresthi Sirna Nir Sikara menunjukkan angka tahun Masehi 2002. Sedangkan contoh lainnya adalah Candrasengkala Sangsaya Luhur Salira Kang Aji menyatakan tahun 1805 Saka/Jawa yang merupakan ucapan selamat datang yang disampaikan oleh Sri Paduka Mangkunegoro IV kepada Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX. Selain itu juga terdapat pula Candrasengkala Muji Dadya Angesti Sang Prabu menyatakan tahun 1847 yang merupakan tahun penulisan surat balasan KPH Kusumayuda kepada Sampeyan Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Paku Buwana X. Sebenarnya pada masa sekarang penggunaan Sengkalan dapat sangat luas lagi pemaknaannya, seperti sindiran-sindriran yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat agar tetap konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi rakyat untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalkan Sengkalan yang saya buat untuk tahun ini 1945 Saka/Jawa, 1433 Hijriyah dan 2012 Masehi yang bermakna do’a dan harapan. Untuk tahun Jawa Candrasengkalanya adalah Marganing Karta Trus dening Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan berpendidikan dalam hal ini adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat”. Tentu ini saya tujukan untuk mengigatkan pemerintah dan wakil-wakil rakyat bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi manakala pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang berpendidikan tersebut menjadi orang-orang yang baik yakni memiliki sifat jujur dan memihak kepentingan rakyat. Sedangkan Candrasengkala tahun 1433 Hijriyahnya dapat dibuat Katon Murub Kartaning Negara yang bermakna “tampak berkobar kemakmuran dan kesejahteraan negara”. Pesannya adalah setelah beliau-beliau yang duduk di pemerintahan (eksekutif) dan perwakilan rakyat (legislatif) tersebut menjadi orang baik dan menjalankan roda pemerintahan yang jujur dan memihak kepentingan rakyat maka akan tampaklah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang semakin berkobar. Namun bagaimana jika ternyata pemerintah dan wakil-wakil rakyat itu berkhianat? jangan khawatir kita sebagai rakyat masih punya senjata pamungkas yang tanpa tanding yaitu Suryaasengkala 2012 Masehi Sikaraning Gusti Sirnaning Dresthi yang bermakna “campur tangan Tuhan berupa peringatan keras atau azab kepada manusia yang jahat akan menghilangkan pengkhianatan yang dilakukan oleh manusia-manusia jahat tersebut”. Tapi tentu ini adalah sesuatu yang berbahaya, oleh karena itu Suryasengkala ini tidaklah perlu digunakan selama manusia-manusia mau “eling lan waspada” dan berbuat baik kepada sesama manusia. Kita simpan saja sebagai pusaka sakti :). Sejarah Candrasengkala Sejarah Sengkalan ini dimulai sekitar tahun 70-an Masehi atau abad pertama Masehi. Ketika itu seorang Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan kemudian menetap di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Aji Saka kemudian bergelar Empu Sengkala. ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Aji Saka memperingatinya sebagai tahun 1 Saka yang ditandai dengan kalimat Kunir Awuk Tanpa Dalu (kunyit busuk tanpa malam). Diceritakan Aji Saka kemudian menyebarluaskan ilmu astronomi dalam hal ini adalah perhitungan tahun atau almanak serta berbagai bentuk kesenian. Usaha Aji Saka ini terbukti berhasil dan menjadi terkenal hingga keluar Pulau Jawa yang kemudian banyak orang yang berdatangan ke Pulau Jawa hingga beberapa waktu kemudia Aji Saka pun kembali ke Surati setelah merasa cukup mengajarkan ilmu kepada penduduk Pulau Jawa. Aji Saka membagi perhitungan tahun menjadi dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala yang maknanya seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan ini. Suryasengkala dipakai oleh masyarakat jawa kuno sampai akhir Kerajaan Majapahit yaitu antara tahun 700 sampai 1400 Saka atau sekitar tahun 1478 Masehi. Sedangkan Candrasengkala sendiri kemungkinan baru dipakai oleh masyarakat Jawa pada masa setelah Islam masuk ke Pulau Jawa yaitu masa walisongo diakhir Kerajaan Majapahit dan diawal Kerajaan Demak dengan menggunakan tahun Islam, Hijriyah yang berbasis qomariyah atau perhitungan tahun berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Pada masa Sultan Agung yang merupakan Raja Mataram Islam, digunakan tahun Saka/Jawa sebagai kalender resmi yang masih dipakai hingga saat ini. Kalender ini merupakan kalender qomariyah yang didasarkan pada perhitungan tahun Hijriyah namun awal tahunnya adalah tahun dimana Aji Saka datang pertama kali di Pulau Jawa dan bukan menurut hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagaimana tahun Hijriyah. Penggunaan dan Penurunan Kata Pada awalnya penyusunan kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa Sansekerta. Menurut pendapat saya, sebenarnya penggunaan kata-kata dalam Sengkalan juga dapat disesuaikan dengan masa sekarang ini didasarkan pada perkembangan budaya maupun ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa tanpa meninggalkan pakem watak bilangan. Misalkan karena mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam, maka kata-kata Allah SWT atau Gusti Allah dapat disisipkan sebagai kata serapan untuk Sengkalan. Contoh kata yang lain adalah Wali dari kata waliyyullah atau kekasih Allah SWT yang merupakan ulama tingkat tinggi yang dalam konteks Sengkalan ini sepadan dengan Barahmana. Atau juga kata pandhita bisa juga diganti dengan kata Kyai, Maulana, Syaikh, Habib dan sebagainya. Namun demikian, ini hanyalah merupakan sebuah pemikiran yang kemudian diusulkan. Saya kira kata-kata dari bahasa Arab bisa dimasukkan dalam susunan kata-kata untuk menyusun Sengkalan berdasarkan konsep kata-kata sepadan (Guru Dasanama), sejenis (Guru Warga), sekerja (Guru Karya), sealat (Guru Sarana), dan sekeadaan (Guru Darwa) sebagaimana kata Nabi yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab pada masa Walisongo. Adapun menyinggung masalah penurunan kata yang sempat saya bahas di atas. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam penurunan kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa Jawa baru atau kata-kata serapan dari berbagai bahasa yang akan kemudian disepadankan dengan bahasa Sansekerta ataupun kata-kata yang telah diturunkan dalam penyusunan Sengkalan. Menurut Raden Bratakesawa, sebagaimana saya kutip dari laporan skripsi saudari Meirissa Ramadhani ada 8 macam, yaitu: Guru Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan sebagainya. Guru Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah dalam penggunaan Sengkalan esthi yang dimaksud berarti pemikiran, perasaan dan kehendak meski banyak juga Sengkalan yang menggunakan esthi tetap bermakna gajah. Guru Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama pula wataknya sehingga kita dapat menambahi, mengurangi, maupun menyisipi suku kata seperti: utawaka menjadi uta karena dikurangi suku katanya. Kemudia kata buja menjadi bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya. Guru Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang berarti belut. Guru Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlakukanya sebuah kata dianggap sama wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau mata memiliki eatak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah satu yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat. Guru Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah adalah alat untuk pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu sendiri atau sama juga dengan kata perang. Guru Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api memiliki watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar. Guru Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang sebenarnya sperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras atau serasi. Demikianlah 8 macam ketentuan untuk menurunkan sebuah kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa baru atau juga ketentuan penyerapan kata dari bahasa lain yang akan disepadankan dengan kata dari bahasa Sansekerta. Namun demikian kita tidak perlu menggunakan 8 macam ketentuan tersebut untuk mencari kata-kata sebagai dasar penyusunan Sengkalan karena itu adalah wilayah para Pujangga, Empu, Sujanma, Pandhita, Resi, Brahmana dan setaranya. Pada tulisan ini kita cukup menggunakan kata-kata yang sudah baku dan itupun jumlahnya sudah cukup banyak. Menurut Ciptawidyaka berikut adalah contoh kata-kata yang sudah biasa digunakan untuk menyusun Sengkalan

. Watak bilangan 0

kata-kata yang termasuk watak bilangan 0 adalah kata-kata yang memiliki arti kosong, hilang, habis, langit, dan tidak tampak secara jasmaniyah. Contoh: Kata sirna berarti hilang atau habis memiliki watak 0 karena kata sirna dan semua padan katanya berarti kosong.

Watak bilangan 1

Kata-kata yang termasuk dalam watak 1 adalah kata-kata yang memiliki arti satu, tunggal, berjumlah satu baik itu Dzat Tuhan, benda, manusia, binatang, dan makhluk hidup lain serta kejadian alam dan sebagainya. Contoh: Kata Gusti yang berati Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa memiliki watak 1 karena kata Gusti dan semua padan katanya berarti Dzat yang hanya berjumlah satu

. Watak bilangan 2

Kata-kata yang termasuk dalam watak 2 adalah kataa-kata yang memiliki arti dua atau sepasang. Contoh: Kata asta yang berarti tangan memiliki watak 2 karena tangan manusia berjumlah dua atau sepasang. Demikian juga kata netra yang berarti mata memiliki watak 2 karena mata manusia berjumlah dua atau sepasang. Sedangkan kata Nembah atau menyembah memiliki watak 2 karena ketika seseorang melakukan sembah dalam adat Jawa menggunakan dua tangan

. Watak bilangan 3

Kata-kata yang termasuk dalam watak 3 adalah kata-kata yang memiliki arti tiga atau dalam sifatnya berunsur tiga. Contoh: Kata Bahni atau geni yang berarti api memiliki watak 3 karena api terjadi karena adanya tiga unsur yaitu: alat pemantik, sarana, dan udara. Pendapat lain tentang api ini adalah karena konon para Brahmana mengklasifikasikan api menjadi tiga macam yaitu: api rumah tangga, api petir, dan api persembahan

. Watak bilangan 4

Kata-kata yang termasuk dalam watak 4 adalah kata-kata yang memiliki arti empa atau berkait dengan segala sesuatu tentang air. Contoh: Kata segara atau laut dikatakan berwatak 4 karena diyakini bahwa air laut berasal dari tampungan empat jenis/sumber air yaitu: air dari mata air, air bengawan, air pancuran, dan air hujan. Adapun kata air sendiri dikatakan berwatak 4 karena kata air diturunkan dari kata warnna yang berarti kasta, sementara itu kasta dalam keyakinan Hindu berjumlah empat.

Watak bilangan 5

Kata-kata yang termasuk dalam watak 5 adalah kata-kata yang memiliki arti lima atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 5. Contoh: Kata pandhawa dikatakan berwatak 5 karena jumlah personil dari pandhawa berjumlah lima orang yaitu: Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa

. Watak bilangan 6

Kata-kata yang termasuk dalam watak 6 adalah kata-kata yang memiliki arti enam atau dalam sifatnnya mengandung unsur berjumlah 6 atau juga segala sesuatu yang berkait dengan sifat manis. Contoh: Kata Anggana atau lebah dikatakan berwatak 6 karena jumlah kaki lebah berjumlah 6.

Watak bilangan 7

Kata-kata yang termasuk watak 7 adalah kata-kata yang memiliki artti tujuh atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 7. Contoh: Kata resi atau pendeta suci dikatakan memiliki watak 7 karena ada anggapan bahwa pada jaman purwa ada tujuh orang pendeta suci yaitu: Resi Kanwa, Resi Parasurama, Resi Janaka, Resi Wasistha, Resi Carika, Resi Wrahaspati, dan Resi Naraddha

. Watak bilangan 8

Kata-kata yang termasuk dalam watak 8 adalah kata-kata yang memiliki arti delapan atau adalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 8 atau segala sesuatu yang berkait dengan ular. Contoh: Kata basu dari asal kata wasu dikatakan berwatak 8 karena wasu merupakan sebangsa dewa yang berjumlah delapan personil. Sedangkan Bujangga dikatakan memiliki watak 8 karena seorang bujangga atau pujangga harus memiliki delapan kemampuan yaitu: Paramasastra (kemampuan didalam kesusastraan), Paramakawi (kemampuan didalam bahasa kawi), Mardibasa (kelebihan didalam oleh kata), Mardawalagu (kemampuan dibidang lagu-lagu tembang dan gending), Hawicarita (kepandaian didalam bercerita), Mandraguna (berilmu pengetahuan luas), Nawung Krida (kemampuan mengarang/mengubah suatu karya yang memiliki nilai filosofi tinggi), dan Sambegana (kekuatan daya ingat).

Watak bilangan 9

Kata-kata yang termasuk dalam watak 9 adalah kata-kata yang memiliki arti sembilan atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 9 atau segala sesuatu yang berkaitan dengan belalang. Contoh: Kata lubang dikatakan berwatak 9 karena dalam tubuh manusia memiliki lubang alami yang berjumlah sembilan yaitu: dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, dan satu lubang kelamin. Penyusunan kata dalan Candrasengkala Setelah mengenal kata-kata beserta wataknya, maka kita akan dapat membuat Sengkalan

. Namun demikian ada beberapa hal penting yang perlu anda ketahui sebelum menyusun sebuah kalimat Sengkalan, yaitu: Penggunaan kata-kata harus atau sebisa mungkin menggunakan kata-kata yang sudah baku atau biasa digunakan sesuai dengan watak bilangan yang dikehendaki yaitu seperti yang tercantum pada contoh kata-kata di atas dan tidak perlu lagi mencari kata-kata yang aneh. Struktur katanya dapat berupa kalimat atau sekadar sususunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah kalimat. Makna kalimat atau susunan katanyadapat menggambarakan keadaan tahun yang akan dibuatkan Sengkalan. Susunan kata atau kalimat dapat berupa berita, pujian, harapan, dan do’a. Meski susunan kata atau kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun bersangkutan. Susunan kata atau kalimat didalam Sengkalan menunjukkan susunan angka bilangan tahun secara berturut-turut dari kiri ke kanan dengan susunan sebagai berikut: kata pertama menunjukkan angka satuan dari tahun kata kedua menunjukkan angka puluhan dari tahun kata ketiga menunjukkan angka ratusan dari tahun kata keempat menunjukka angka ribuan dari tahun Setelah kita memahami ketentuan-ketentuan di atas, maka kita akan dengan mudah membuat Sengkalan untuk tahun yang kita kehendaki. Misalkan dalam tulisan ini saya akan membuat Sengkalan untuk memperingati tahun kelahiran seorang teman saya, yaitu: Seorang teman saya lahir pada tahun 1977 Masehi, beliau adalah seorang aktivis pengajian yang aktif pada berbagai organisasi Islam pada masa mudanya dahulu. Maka Sengkalan yang cocok dan berkait dengan kegiatan teman saya tersebut adalah Suryasengkala Wasitaning Resi Ambuka Budi, disini kata Wasita berwatak 7, kata Resi berwatak 7, kata Ambuka berwatak 9, dan kata Budi berwatak 1. Adapun makna dari kalimat tersebut adalah “nasihat, petunjuk, dan pelajaran dari seorang ahli agama akan membuka pikiran atau pemikiran” (untuk arti perkatanya dapat anda lihat pada tabel-tabel daftar watak bilangan di atas). Jadi pesan dari Suryasengkala ini adalah jika kita mendengarkan petunjuk, nasihat, dan pelajaran dari ahli agama (alim ulama) Insya Allah akan terbuka pikiran kita dari segala sesuatu hal buruk yang menutupinya, sehingga kita akan dengan mudah memperoleh dan menerima ilmu pengetahuan yang otomatis akan meningkatkan wawasan kita. Maka rajin-rajinlah mengaji. Sengkalan kedua masih berkait dengan Sengkalan di atas karena ini merupakan versi tahun Hijriyahnya, yaitu 1397. Candrasengkala dari tahun tersebut adalah Sabdaning Jawata Wedaning Urip, dimana kata Sabda berwatak 7, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3, dan kata Urip berwatak 1. Adapun makna dari Candrasengkala ini adalah “firman-firman Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Jadi pesan dari Candrasengkala ini adalah pelajarilah kitab suci (dalam hal ini Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat firman-firman Allah SWT yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini. Sengkalan yang kertiga juga masih terkait pada kedua Sengkalan di atasnya, terlebih lagi pada Sengkalan kedua, pasalnya Sengkalan ini juga merupakan versi Hijriyah yaitu tahun 1398. Karena saya tidak tahu persis bulan kelahiran teman saya tersebut dan sementara itu pada tahun 1977 Masehi bertepatan dengan dua tahun Hijriyah yaitu 1397 dan 1398 maka untuk “berjaga-jaga” saya juga membuat Sengkalan versi 1398-nya yaitu Esthining Jawata Wedaning Urip, dimana kata Esthi berwatak 8, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3,dan kata Urip berwatak 1. Pada Candrasengkala ini memang kalimatnya sengaja saya buat mirip dan pesannya pun sama yaitu “kehendak Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Pesannya adalah sama yaitu pelajarilah kitab suci (Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat kehendak-kehendak Allah SWT atas segala makhluk khususnya manusia yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini

Minggu, 02 Februari 2014

Warisan Budaya Jowo

Warisan Mahakarya Nusantara

Secara teoritis, bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya asing, bangsa kita telah memiliki ketrampilan budaya, pengetahuan dan kedaulatan spiritual serta jejak peradaban manusia tertua di dunia…


(1)  Wayang

Sejarah wayang berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa indonesia yang sudah ada sejak zaman kuna sekitar 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya asing masuk ke nusantara. Bermula zaman kuna ketika nenek moyang masih menganut animisme dan dinamisme, dalam alam kepercayaan ini diyakini orang yang sudah meninggal rohnya tetap hidup dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu bersemayam di gunung, air, batu, kayu dsb, mereka harus tetap di hormati, di puja dan di mintai pertolongan jika perlu. Untuk memuja  roh nenek moyang selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam gambar dan patung yang di sebut ‘hyang’ atau ‘dahyang’, orang bisa berhubungan dengan roh melalui medium yang di sebut ‘syaman’ , ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang,  ritual kepercayaan menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang, sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang, bahasa yang di gunakan adalah bahasa jawa asli yang hingga sekarang masih di gunakan. Wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjaid ujud dan isinya seperti sekarang ini, sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang

. (2)  Gamelan

Berdasarkan relief yang ada dalam Candi Borobudur pada abad ke-8, terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari kendang, suling bambu, kecapi, dawai yang digesek dan dipetik, serta lonceng… Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang gunung lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan

. (3)  Ilmu irama sanjak

Biasa di sebut kesenian karawitan yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit.

(4)  Batik

Sejarah batik di Nusantara sudah dimulai jauh sebelum kata “Indonesia” sendiri tercipta. Dalam kesusastraan kuno dan pertengahan, sempat ditemukan pembahasan soal nyerat atau nitik yang diduga merupakan teknik menghias kain menggunakan malam. Kemudian muncullah istilah ‘mBatik’ Kata ini berasal dari gabungan kata “ngembat” dan “titik” yang berarti membuat titik

. (5)  Pengerjaan logam

Dalam tradisi adat dan mitologi Jawa ada kepercayaan adanya ‘daya linuwih’ (tuah, kekuatan mistis) dari keris dan benda-benda berbentuk senjata tajam lain di sebut tosan aji. Di samping merupakan maha karya seni, keris dan tosan aji juga merupakan kemampuan nenek moyang dalam bidang metalurgi. Pembuatan keris yang berpamor merupakan suatu keahlian teknik pencampuran dan penempaan berbagai logam yang tidak bisa di anggap remeh

. (6)  Sistem mata uang sendiri

Alat tukar yang nyata yaitu emas dan perak telah menjadi tradisi dalam pedagangan di Nusantara dimana uang emas dan perak diukurkan langsung kepada komoditas (barang nyata). Pengetahuan tentang penggunaan koin bimetal ini hilang dikarenakan diberlakukannya uang kertas yang didasarkan pada deretan angka yang tiada bernilai. Diketahui Kati adalah satuan berat termasuk untuk menghitung dalam sistem keuangan dan perniagaan. Jadi saat itu telah ada sistem keuangan berbasis emas dan perak. Kati merupakan satuan hitung dasar, dikertahui bahwa 1 Kati = 750 gram. 3000 Kati = 30 Pikul. Tahil (Ta) untuk menghitung uang dalam sistem moneter. Catatan tersebut bisa dilihat disini: 1 Tahil = 38 gram = 1/20 Kati (Emas atau Perak). 1 Bantal = 20 Kati 1 Masa = 2.4 gram (1/16 Tahil atau Suwarna atau Dharana) 1 Atak = 2.4 gram = ½ Masa 1 Kupang (Ku) = 0.6 gram = ¼ Masa 1 Saga = 0.16 gram = 1/6 Ku 100 Picis = 1 Kupang disebut Sakupang 200 Picis = 1 Atak disebut Satak 400 Picis = 1 Masa disebut Samas 800 Picis = 2 Masa disebut Domas 1000 Picis = 1 Tali = 1 Laksa disebut Salaksa 100.000 Picis = 1 Keti disebut Saketi

(7) Astronomi

Sejarah telah mencatat, geliat penerapan astronomi di kepulauan Nusantara telah ada sejak dahulu kala. Penanggalan kalender Jawa, penentuan musim hujan, kemarau, panen, dan ritual kepercayaan lain yang menggunakan peredaran gerak benda langit sebagai acuan. Bahkan, mengutip sebuah lagu ‘nenek moyangku seorang pelaut’, mereka pun mahir menggunakan rasi-rasi bintang sebagai penunjuk arah

. (8)  Ilmu teknologi pelayaran

sebelum Cheng Ho dan Columbus, para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”. Pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit tahun 1645 menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Berdasarkan relief kapal di Candi Borobudur membuktikan bahwa sejak dulu nenek moyang kita telah menguasai teknik pembuatan kapal. Kapal Borobudur telah memainkan peran utama dalam segala hal dalam bahasa Jawa pelayaran, selama ratusan ratus tahun sebelum abad ke-13.

(9) Sistem Pranata Sosial Dan Pemerintahan yang teratur

Organisasi pranata sosial dan pemerintahan di Jawa pada awalnya berupa kabuyutan-kabuyutan yang masing-masing merupakan daerah ‘perdikan’ atau otonom. namun demikian kedaulatan masing-masing terhubungkan oleh suatu ‘pandangan hidup’ yang sama yang mengedepankan kesejahteraan bersama. Panunggalan kabuyutan-kabuyutan (desa-desa) di jaman kuno itulah yang menjadikan jawa di kenal dengan negeri makmur dan sejahtera, ibarat senyaman surga. negeri kumpulan desa-desa yang manunggal itulah yang dikenal masyarakat dunia sebagai ‘paradesa’ atau pradesh, paradiso, paradise, firdaus, taman eden dll.

(10)  Pertanian sawah

Unesco telah mengakui bahwa pertanian ala sistim subak Bali sebagai situs warisan dunia. metode revolusi hijau telah ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala menanam padi. subak tidak saja sistem aliran air untuk sawah, subak tak cuma sekadar sawah berundak. tetapi subak adalah sebuah identitas tipikal masyarakat agraris. Substansinya merupakan gabungan manajemen, keuletan, demokrasi, partisipasi dan rasa kebersamaan yang tinggi.

(11) Jamu

Indonesia adalah termasuk negeri dengan sumber hayati tanaman herbalnya terbesar di dunia. Ada begitu banyak bahan-bahan alami jamu yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu sudah dikenal sejak lama. Pada periode kerajaan Hindu-Jawa dibuktikan dengan adanya ‘Prasasti Madhawapura’ dari jaman Majapahit yang menyebut adanya tukang meramu jamu yang disebut ‘Acaraki’. Pada relief Candi Borobudur sekitar tahun 800 – 900 Masehi, juga menggambarkan adanya kegiatan membuat jamu

. (12) Candi

Candi Borobudur yang dibangun antara 750-842 SM adalah candi budha terbesar di dunia, sedang Candi Prambanan memiliki relief yang memuat kisah Ramayana. Candi Borobudur berbentuk Stupa didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800 an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan, Dharmachakra mudra (memutar roda dharma). Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan. Sedang Candi Prambanan adalah Candi Hindu tercantik di dunia, biasa di sebut Candi Roro Jonggrang, merupakan kompleks candi terbesar yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta,Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah

Budoyo Jowo

Warisan Mahakarya Nusantara Secara teoritis, bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya asing, bangsa kita telah memiliki ketrampilan budaya, pengetahuan dan kedaulatan spiritual serta jejak peradaban manusia tertua di dunia… (1)  Wayang Sejarah wayang berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa indonesia yang sudah ada sejak zaman kuna sekitar 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya asing masuk ke nusantara. Bermula zaman kuna ketika nenek moyang masih menganut animisme dan dinamisme, dalam alam kepercayaan ini diyakini orang yang sudah meninggal rohnya tetap hidup dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu bersemayam di gunung, air, batu, kayu dsb, mereka harus tetap di hormati, di puja dan di mintai pertolongan jika perlu. Untuk memuja  roh nenek moyang selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam gambar dan patung yang di sebut ‘hyang’ atau ‘dahyang’, orang bisa berhubungan dengan roh melalui medium yang di sebut ‘syaman’ , ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang,  ritual kepercayaan menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang, sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang, bahasa yang di gunakan adalah bahasa jawa asli yang hingga sekarang masih di gunakan. Wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjaid ujud dan isinya seperti sekarang ini, sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang. (2)  Gamelan Berdasarkan relief yang ada dalam Candi Borobudur pada abad ke-8, terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari kendang, suling bambu, kecapi, dawai yang digesek dan dipetik, serta lonceng… Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang gunung lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan. (3)  Ilmu irama sanjak Biasa di sebut kesenian karawitan yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. (4)  Batik Sejarah batik di Nusantara sudah dimulai jauh sebelum kata “Indonesia” sendiri tercipta. Dalam kesusastraan kuno dan pertengahan, sempat ditemukan pembahasan soal nyerat atau nitik yang diduga merupakan teknik menghias kain menggunakan malam. Kemudian muncullah istilah ‘mBatik’ Kata ini berasal dari gabungan kata “ngembat” dan “titik” yang berarti membuat titik. (5)  Pengerjaan logam Dalam tradisi adat dan mitologi Jawa ada kepercayaan adanya ‘daya linuwih’ (tuah, kekuatan mistis) dari keris dan benda-benda berbentuk senjata tajam lain di sebut tosan aji. Di samping merupakan maha karya seni, keris dan tosan aji juga merupakan kemampuan nenek moyang dalam bidang metalurgi. Pembuatan keris yang berpamor merupakan suatu keahlian teknik pencampuran dan penempaan berbagai logam yang tidak bisa di anggap remeh. (6)  Sistem mata uang sendiri Alat tukar yang nyata yaitu emas dan perak telah menjadi tradisi dalam pedagangan di Nusantara dimana uang emas dan perak diukurkan langsung kepada komoditas (barang nyata). Pengetahuan tentang penggunaan koin bimetal ini hilang dikarenakan diberlakukannya uang kertas yang didasarkan pada deretan angka yang tiada bernilai. Diketahui Kati adalah satuan berat termasuk untuk menghitung dalam sistem keuangan dan perniagaan. Jadi saat itu telah ada sistem keuangan berbasis emas dan perak. Kati merupakan satuan hitung dasar, dikertahui bahwa 1 Kati = 750 gram. 3000 Kati = 30 Pikul. Tahil (Ta) untuk menghitung uang dalam sistem moneter. Catatan tersebut bisa dilihat disini: 1 Tahil = 38 gram = 1/20 Kati (Emas atau Perak). 1 Bantal = 20 Kati 1 Masa = 2.4 gram (1/16 Tahil atau Suwarna atau Dharana) 1 Atak = 2.4 gram = ½ Masa 1 Kupang (Ku) = 0.6 gram = ¼ Masa 1 Saga = 0.16 gram = 1/6 Ku 100 Picis = 1 Kupang disebut Sakupang 200 Picis = 1 Atak disebut Satak 400 Picis = 1 Masa disebut Samas 800 Picis = 2 Masa disebut Domas 1000 Picis = 1 Tali = 1 Laksa disebut Salaksa 100.000 Picis = 1 Keti disebut Saketi (7) Astronomi Sejarah telah mencatat, geliat penerapan astronomi di kepulauan Nusantara telah ada sejak dahulu kala. Penanggalan kalender Jawa, penentuan musim hujan, kemarau, panen, dan ritual kepercayaan lain yang menggunakan peredaran gerak benda langit sebagai acuan. Bahkan, mengutip sebuah lagu ‘nenek moyangku seorang pelaut’, mereka pun mahir menggunakan rasi-rasi bintang sebagai penunjuk arah. (8)  Ilmu teknologi pelayaran Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus, para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”. Pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit tahun 1645 menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Berdasarkan relief kapal di Candi Borobudur membuktikan bahwa sejak dulu nenek moyang kita telah menguasai teknik pembuatan kapal. Kapal Borobudur telah memainkan peran utama dalam segala hal dalam bahasa Jawa pelayaran, selama ratusan ratus tahun sebelum abad ke-13. (9) Sistem Pranata Sosial Dan Pemerintahan yang teratur Organisasi pranata sosial dan pemerintahan di Jawa pada awalnya berupa kabuyutan-kabuyutan yang masing-masing merupakan daerah ‘perdikan’ atau otonom. namun demikian kedaulatan masing-masing terhubungkan oleh suatu ‘pandangan hidup’ yang sama yang mengedepankan kesejahteraan bersama. Panunggalan kabuyutan-kabuyutan (desa-desa) di jaman kuno itulah yang menjadikan jawa di kenal dengan negeri makmur dan sejahtera, ibarat senyaman surga. negeri kumpulan desa-desa yang manunggal itulah yang dikenal masyarakat dunia sebagai ‘paradesa’ atau pradesh, paradiso, paradise, firdaus, taman eden dll. (10)  Pertanian sawah Unesco telah mengakui bahwa pertanian ala sistim subak Bali sebagai situs warisan dunia. metode revolusi hijau telah ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala menanam padi. subak tidak saja sistem aliran air untuk sawah, subak tak cuma sekadar sawah berundak. tetapi subak adalah sebuah identitas tipikal masyarakat agraris. Substansinya merupakan gabungan manajemen, keuletan, demokrasi, partisipasi dan rasa kebersamaan yang tinggi. (11) Jamu Indonesia adalah termasuk negeri dengan sumber hayati tanaman herbalnya terbesar di dunia. Ada begitu banyak bahan-bahan alami jamu yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu sudah dikenal sejak lama. Pada periode kerajaan Hindu-Jawa dibuktikan dengan adanya ‘Prasasti Madhawapura’ dari jaman Majapahit yang menyebut adanya tukang meramu jamu yang disebut ‘Acaraki’. Pada relief Candi Borobudur sekitar tahun 800 – 900 Masehi, juga menggambarkan adanya kegiatan membuat jamu. (12) Candi Candi Borobudur yang dibangun antara 750-842 SM adalah candi budha terbesar di dunia, sedang Candi Prambanan memiliki relief yang memuat kisah Ramayana. Candi Borobudur berbentuk Stupa didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800 an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan, Dharmachakra mudra (memutar roda dharma). Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan. Sedang Candi Prambanan adalah Candi Hindu tercantik di dunia, biasa di sebut Candi Roro Jonggrang, merupakan kompleks candi terbesar yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta,Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah