www.arcocrewek.com

Arcocrewek

Sabtu, 21 Desember 2013

Sepenggal Cerita Wong Jowo Suriname jilid 2

PARAMARIBO – Penetapan hari Lebaran (1 Syawal) pada hari yang berbeda tidak hanya terjadi di Indonesia. Masyarakat Jawa yang tinggal di Republik Suriname ternyata lebih unik lagi. Tahun ini pelaksanaan Idul Fitri di negara yang terletak di Amerika Selatan itu dilakukan pada tiga hari yang berbeda. Seperti yang disaksikan Jawa Pos, sebagian besar masyarakat memang menganut hari raya yang ditetapkan pemerintah (Senin, 23 Oktober) atau sama dengan Muhammadiyah dan Pengurus Wilayah NU Jatim di Indonesia. Tapi, sebagian masyarakat juga melangsungkan Lebaran sehari sebelumnya, Minggu (22/10), dan Rabu (25/10) kemarin. Selain lewat perhitungan (hisab) dan melihat langsung (rukyatul) hilal, penetapan hari Lebaran oleh orang Jawa di Suriname dilakukan berdasar perhitungan mereka sendiri. Yakni, menggunakan prajangka atau perhitungan ala primbon Jawa warisan leluhur. Karena itu, para penganut Lebaran “tidak biasa” tersebut adalah kalangan orang Islam keturunan Jawa yang masih kukuh mempertahankan tradisi peninggalan nenek moyang. “Dados, dinten riyaya meniko sampun kecatet wonten kitab prajangka. Malah ngantos wolung tahun malih, kita sampun ngertos tanggal riyayanipun (Jadi, hari raya itu sudah tercatat dalam kitab prajangka. Bahkan, sampai delapan tahun lagi, kami sudah mengerti tanggalnya, Red),” kata Amat Bakri, 83, imam Masjid Muljo Rukun Islam, Dekraneweg, Lelydorp, Ditrik Wanica. Jamaah masjid yang mayoritas penduduknya keturunan Jawa itu termasuk penganut Islam yang menjaga tradisi. Mereka meyakini apa yang dilakukan nenek moyang (para kuli kontrak asal Jawa) itu adalah tradisi yang harus dipelihara dan tidak boleh diubah. Mereka khawatir, bila menyimpang dari tradisi leluhur, bisa kualat dan dosa. “Aku sakdermo nglaksanake apa sing dilakoni mbah-mbahku biyen sing diwarisake turun-temurun ing kene (Saya sekadar menjalankan apa yang dilakukan nenek moyang dulu yang diwariskan turun-menurun di sini, Red),” tambah Amat. Amat beserta masyarakat muslim di desa mayoritas penduduk keturunan Jawa itu memang baru melaksanakan Lebaran Rabu kemarin atau dua hari setelah Lebaran nasional di Suriname. Selain di Dekraneweg, Lebaran Rabu juga dilangsungkan sebagian masyarakat di Zwampweg, Wanica, pimpinan Slamet Mugi Wiryo, dan di Rostnwerk, Distrik Commewijn, 40 kilometer dari Paramaribo, ibu kota Suriname. Amat yang mengaku leluhurnya berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah, itu mengatakan, penetapan Idul Fiter (penyebutan Idul Fitri di Suriname, Red) dengan prajangka itu sudah ada sejak pertama orang Jawa datang ke negara tropis itu, 116 tahun silam. Sebagai ahli warisnya, Amat dan sekitar 200 jiwa yang berjamaah di masjid tersebut punya tanggung jawab moral untuk melestarikan nilai-nilai tradisi para leluhur tersebut. “Kalau bukan kita yang masih keturunan Jawa di sini (Suriname), siapa lagi yang mau mempertahankan warisan itu,” kata Amat yang petani tersebut. “Entah kalau nanti saya dan orang-orang sepuh di sini sudah tidak ada, saya tidak tahu apakah masih ada yang mau nguri-uri (memelihara, Red) tradisi tersebut,” tambahnya dengan bahasa Jawa kromo andap. Selasa malam (waktu Suriname, lebih lambat 10 jam daripada Indonesia, Red) Jawa Pos mengikuti takbiran di Masjid Muljo Rukun Islam. Malam itu, di masjid ngilenan (istilah untuk jamaah yang salatnya masih menghadap ke arah barat, meski kiblat yang benar di Suriname ke timur, Red) berkumpul sekitar 25 orang jamaah. Umumnya sudah tua-tua. Saat itu sekitar separo jamaah menjalankan salat Isya dan takbiran di dalam masjid, separo lainnya duduk-duduk di serambi sambil menonton jamaah yang sedang salat. Pemandangan seperti itu lumrah di kalangan jamaah ngilenan. “Persis koyo nonton bioskop (Persis seperti orang nonton film di bioskop, Red),” kelakar seorang warga. Irama mereka dalam berdoa dan bertakbir juga lain. Tidak jauh berbeda dengan irama orang sedang menembang Jawa. Khas dan medhok. Hingga Senin (23/10) malam, mereka masih menjalankan salat tarawih. Esok harinya (24/10), puasa tetap dijalankan, dilanjutkan dengan takbiran pada malamnya. Salat Id dilaksanakan esok pagi (kemarin, 25/10), pukul 08.00 di tempat yang sama. Bertindak sebagai imam Mukirin Rowongso, khotib Trimo Karyo Rejo, dan pembaca masiro Kreni Kromo Wijoyo. “Sak bibare salat Id diterusake kenduren. Mangan bareng-bareng sego tumpeng iwak ingkung (Setelah salat Id, berikutnya kenduri. Makan bersama-sama nasi tumpeng dengan lauk daging ayam panggang, Red),” jelas Trimo yang sekaligus takmir masjid itu. Yang juga berbeda dengan tempat lain, malam takbiran di jamaah Lebaran Rabu juga diikuti pesta obor dan minum-minum di sepanjang Jalan Dekraneweg. Ribuan orang tumplek blek di jalan tak seberapa besar itu, sekitar 6 meter kali 3,5 km itu. Hampir di setiap depan rumah milik orang-orang Jawa itu dipasang rangkaian obor dari bambu atau botol sehingga pada malam hari pemandangan tampak cantik. Kira-kira pukul 20.00, suasana mulai ramai. Mereka ramai-ramai kumpul di halaman depan rumah sambil makan-minum dan menyaksikan orang-orang yang berseliweran di jalan. Tidak sedikit yang minum minuman keras. Di Suriname sebutannya sopi (arak). Suara mercon berdesingan memekakkan telinga, ditambah dentuman suara house music dari dalam mobil yang berseliweran di lokasi perayaan. Takbiran juga diwarnai iring-iringan mobil dan motor udhuk-udhuk (sepeda motor, Red) yang dikendarai anak-anak muda. “Tapi, mobil dan motor itu kebanyakan dari luar Dekraneweg. Mereka penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di sini,” tutur Frenky Wursidi, warga setempat. “Mereka tidak hanya orang keturunan Jawa. Seluruh etnis yang ada di Suriname ikut ramai-ramai di Dekraneweg ini,” tambahnya. Yang tak kalah menarik, dandanan anak-anak muda yang hilir mudik di jalan tak beraspal tersebut sungguh menggoda. Para gadis umumnya mengenakan pakaian yang mengumbar aurat. Model tank top atau kaus U can see dengan belahan dada yang cukup rendah. Bahkan, tak jarang cewek-cewek aneka etnis (Jawa, Creole, Hindustan, Brazilia, dan Amerindian) yang hanya mengenakan (maaf, Red) BH dan celana pendek ketat. Mereka berboncengan motor dengan cowok-cowok berkalung emas dan beranting di kuping sambil berteriak, “Tue… tue (Da… da…, Red)” kepada warga yang berdiri di pinggir-pinggir jalan. Menurut Amat Bakri, sejatinya pesta di jalan desa tersebut bukan rangkaian malam takbiran. Tapi, karena sudah menjadi tradisi di desa tersebut untuk menyambut Lebaran, tak ada salahnya jika itu diadakan warga. “Monggo mawon, wong niku sampun dianaaken saben taun (Silakan saja karena pesta itu sudah diadakan setiap tahun, Red).” Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan Ketua Parlemen Suriname Paul Salam Sohohardjo. “Kita harus bisa memahami sejarah orang Jawa di Suriname. Mereka bukan orang-orang sekolahan. Kalau mereka masih ngugemi kebudayaan dan tradisi Jawa tinggalan nenek moyangnya, mengapa harus dilarang,” kata Paul. “Yang penting tidak perlu fanatik dalam beragama. Apalagi Suriname merupakan negara yang beraneka bangsa, agama, dan bahasa. Kita harus menghormati mereka,” tambah ketua Partai Pertjajah Luhur ini Tidak jauh berbeda dengan Lebaran Rabu, umat muslim Jawa yang menggelar Lebaran Minggu (22/10) juga melaksanakan tata cara perayaan Idul Fiter yang sama. Lebaran Minggu ini diikuti antara lain warga Javaweg (Wanica), jamaah Masjid Rohmah Islam di Ramgoelamweg, Clevia, dan Magentaweg. Tiga lokasi terakhir berada di Distrik Paramaribo. Umumnya juga dilakukan warga keturunan Jawa yang berkiblat ngilen (barat). Bedanya dengan Lebaran Rabu, perayaan Lebaran Minggu tidak diikuti dengan acara pesta obor seperti di Dekraneweg. Umat Islam yang berlebaran mendahului sehari dari tanggal yang ditetapkan pemerintah tersebut merayakan Idul Fitri dengan sederhana. Mereka hanya bertakbiran dan berjamaah salat Id di masjid. Setelah itu, bersalam-salaman terus pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar